Udara di Dalam Tanah
Udara pagi itu lembab dan berat, mengendap di sela-sela akar bakau yang menancap dalam. Tanah rawa menahan napasnya, seolah ingin menjaga sesuatu yang tumbuh perlahan di dalam perut bumi. Di bawah permukaan, tepat di bawah sarang besar peninggalan Musamus, nyawa baru sedang menggeliat. Bukan berupa tubuh, tapi harapan.
Patu berjalan perlahan menyusuri lorong tanah yang dulu digali tangan-tangan kecil para pekerja semut. Di dinding lorong, serat bambu yang ditanam di musim lalu mulai menjulur, memberi kekuatan pada struktur bawah tanah itu. Aroma basah bercampur jamur tanah memenuhi rongga udara, bau kehidupan yang tak pernah mengenal gemerlap langit, tapi setia menopang dunia di atasnya.
"Kita butuh lebih banyak lubang udara," kata Rawari, merangkak di belakang Patu sambil membawa ranting-ranting yang sangat kecil. "Kalau kita ingin membangun Menara Harapan, fondasinya harus bisa bernapas."
"Udara di dalam tanah itu nyawa," jawab Patu, memungut sehelai daun ketapang kering yang jatuh terbawa semut kecil dari permukaan. "Kalau akar tak bisa bernapas, batangnya pasti tumbang."
Langkah mereka terhenti di persimpangan tiga jalur. Dulu tempat ini hanya tempat berteduh para larva dari kelembapan malam. Tapi kini, ranting-ranting kayu kecil dari sisa bangkai pohon palem disusun rapi. Di ujung lorong, sekelompok semut penenun sedang menempelkan daun palem dengan lumpur rawa untuk memperkuat dinding.
"Patu datang!" seru seekor semut muda. "Kami hampir selesai menyambungkan rongga ini ke sarang udara utara!"
"Bagus sekali, Tera," Patu mengangguk. "Setiap rongga yang kalian buka adalah celah bagi harapan untuk masuk."
Dari kejauhan, terdengar suara air menetes, mungkin dari tetesan embun yang mengalir melalui akar bakau. Di dalam tanah, bunyi sekecil itu terdengar seperti nyanyian.
Seekor udang rawa menyusup melalui retakan tanah, matanya bersinar dalam kegelapan.
"Aku dengar kalian membangun menara?" tanyanya ragu.
"Benar," jawab Rawari. "Bukan menara untuk melihat langit, tapi untuk memperkuat tanah ini dari dalam. Tempat semua makhluk bisa tinggal dan bernapas bersama."
"Tapi mengapa membangunnya di dalam tanah?" udang itu menggeliat, mencoba memahami.
Patu mendekat dan menepuk tubuh berlendir itu dengan lembut.
"Karena kekuatan tak selalu tumbuh ke atas," katanya. "Kadang, kekuatan justru lahir dari kedalaman yang gelap, dari lapisan lumpur yang lembab dan bau. Seperti akar-akar yang kau jaga dengan tubuhmu, bukan?"
Udang itu diam sejenak, lalu mengangguk. "Aku akan panggil belut-belut dari kolam selatan. Mereka bisa bantu menggali dengan tubuh mereka yang panjang."
Tak lama kemudian, suara gesekan tanah terdengar semakin banyak. Belut-belut datang, melata di sela-sela semut dan udang, bahu-membahu tanpa suara, menggali dan membuka jalan.
Patu berdiri mematung sesaat. "Musamus, lihatlah," gumamnya dalam hati. "Dari udara yang nyaris tak terlihat ini, dari napas yang mengendap di kedalaman, kami bangun kehidupan."
Sementara itu, dari permukaan, seekor burung rawa menyanyikan nada rendah. Suaranya menjalar masuk ke lubang ventilasi tanah dan menjadi gema yang menenangkan. Anak-anak semut yang masih belajar menggambar di tanah mendongak. Mereka menggambar garis-garis berliku yang menyerupai akar, sebuah lambang bahwa yang tak terlihat di atas, justru menopang segalanya.
"Patu," kata Rawari kemudian, "menara ini akan selesai dalam tiga malam. Tapi bagaimana dengan yang di atas? Apakah kita tidak akan bangun apa-apa di permukaan?"
"Kita akan tanam satu pohon palem di atasnya," jawab Patu. "Satu saja. Biar akarnya menembus ke dalam ruang ini, menyatu dengan lorong-lorong udara."
Semut-semut menatap satu sama lain. Sebuah palem bukan hanya tanaman. Ia akan menjadi lambang, menandai tempat di mana udara, tanah, dan makhluk saling menyatu.
"Maukah kau menanamnya sendiri?" tanya Rawari.
Patu mengangguk. "Bukan aku sendiri. Aku akan tanam bersama anak-anak. Biar mereka tahu bahwa harapan harus mereka jaga sejak kecil."
Dan begitu malam tiba, setelah kerja seharian yang tak disaksikan matahari, mereka semua berkumpul. Di titik tertinggi dari sarang bawah tanah, di tempat cahaya bulan bisa menyelinap lewat celah daun ketapang, Patu berdiri dengan biji palem kecil di pelukannya.
"Dari dalam tanah, kita hidup. Dari dalam tanah, kita bangun. Tapi dari dalam tanah pula, kita kirim udara ke dunia di atas."
Ia lalu menanam biji itu, perlahan, dengan kedua antenanya bergetar.
Dan ketika biji itu menyentuh tanah, seolah semua suara rawa terdiam. Lalu, angin pelan berhembus dari arah hulu, melewati akar-akar kayu bus, menelusup ke lubang udara, dan menyentuh wajah-wajah lelah para pekerja kecil itu.
Udara di dalam tanah tak lagi sesak. Ia kini menjadi napas bersama, udara harapan.
Rumah yang Bertumbuh
Fajar menyapa dengan kabut tipis yang menggantung di atas hamparan rawa. Embun masih menetes dari ujung daun ketapang, mengalir perlahan ke tanah hitam yang lembap dan penuh kehidupan. Di balik rerimbun bakau, aroma lumpur dan akar membaur seperti bisikan leluhur yang memeluk dunia.
Di tengah padang itu, berdirilah sebuah pohon palem muda, tunas yang beberapa hari lalu ditanam oleh Patu dan anak-anak. Akarnya merambat ke dalam tanah, menembus lorong-lorong sarang Musamus yang kini jadi jantung dari Menara Harapan.
"Lihat... daunnya mulai merekah," ujar Rawari dengan suara serak lembut. Ia berdiri di samping Patu, menatap pucuk palem yang mengarah ke langit.
"Daun itu seperti jari Musamus," gumam Patu. "Menggenggam langit dari dalam tanah."
Di sekitar mereka, semut-semut bekerja tanpa henti. Ranting-ranting kecil yang diambil dari pinggiran rawa mulai dipasang menjadi rangka rumah. Dindingnya dirancang dari anyaman daun palem dan ilalang, disambung lumpur dan akar bambu yang kuat. Tapi rumah ini bukan sekadar tempat berteduh. Ini adalah bagian dari tubuh tanah, tumbuh perlahan seperti jamur setelah hujan.
"Kita tidak sedang membangun rumah," kata Patu kemudian. "Kita sedang menumbuhkan rumah."
"Apa bedanya?" tanya Tera, si semut muda, yang tengah menyusun ranting-ranting kayu bersama teman-temannya.
Patu menoleh dan tersenyum. "Kalau membangun, kita hanya menumpuk bahan. Tapi kalau menumbuhkan, kita mendengar suara tanah, napas air, dan detak jantung akar. Rumah itu akan hidup bersama kita."
Dari sisi rawa, suara gemercik air muncul. Seekor ikan gabus meloncat keluar dari genangan dan mendarat tepat di depan Patu.
"Patu, aku dengar kalian bangun sarang baru," katanya dengan napas pendek. "Apa kami boleh ikut tinggal?"
"Rumah ini bukan milik satu bangsa," jawab Patu. "Ini rumah untuk semua yang menjaga, bukan merusak."
Ikan itu menyeringai. "Aku janji tak akan menggali liang di bawah pondasi seperti dulu."
Dari balik semak, seekor kepiting merah muncul dengan seikat akar nipah di capitnya. "Aku bawa pengikat lumpur!" serunya. "Akar ini bisa jadi fondasi yang kuat. Kalau kalian ikat dengan batang bambu muda, dinding rumah tidak akan mudah rubuh."
"Kau memang cerdik, Kapi," kata Rawari.
"Cerdik karena sering dikejar burung rawa," jawab Kapi sambil tertawa.
Hari itu, rawa berubah jadi panggung perayaan diam-diam. Semua makhluk, dari belut yang menggali lorong air, udang yang membersihkan dasar kolam, hingga burung-burung kecil yang membawa benih ilalang, saling menyumbang bagian untuk rumah itu.
Di sisi timur, seekor burung mambruk berdiri di atas pohon ketapang yang sudah tua. Dari paruhnya yang panjang, ia menjatuhkan serat kayu kering.
"Untuk atap," katanya lantang. "Musamus pernah menolongku melepas duri dari kakinya. Kini saatnya kubalas."
Patu menengadah. "Ia tak pernah minta dibalas. Tapi kau telah mengerti satu hal penting: rumah sejati bukan hanya dinding dan atap, tapi juga ingatan dan kasih."
Sore menjelang. Langit mulai merah saga, dan kabut kembali turun perlahan, menyelimuti pucuk-pucuk palem dan bambu yang telah disusun membentuk bingkai bangunan. Rumah itu tampak seperti bagian dari hutan, bukan sesuatu yang ditambahkan, melainkan yang memang lahir dari sana.
"Patu," bisik Tera yang duduk di atas akar palem, "Musamus pasti bangga."
Patu menatap ke kejauhan, ke arah gundukan sarang tua yang perlahan ditelan rerumputan. Ia bisa merasakan suara Musamus masih bergema di dalam tanah---bukan dalam kata-kata, melainkan dalam napas dan gerak makhluk yang hidup.
"Musamus tidak ingin kita hanya mengenangnya," jawab Patu pelan. "Ia ingin kita melanjutkan. Menjadi akar, bukan bayang."
Malam pun turun, pelan seperti jubah gelap yang menutupi tanah. Bintang-bintang bermunculan di langit, memantulkan cahaya redup ke permukaan air rawa. Rumah itu kini berdiri, belum sempurna tapi sudah bernyawa. Dari dalam, terdengar suara semut-semut kecil menyanyikan lagu yang pernah diajarkan Musamus, lagu tentang kebersamaan, tentang tanah yang mendidik, dan air yang menyucikan.
Rawari menyalakan lampu kecil dari cahaya kunang-kunang yang ditangkap dan ditempatkan di dalam tempurung bambu.
"Rumah ini sudah hidup," katanya.
"Dan akan terus bertumbuh," sambung Patu. "Seperti tanah ini. Seperti jiwa kita."
Dari dalam tanah, udara terus naik. Dari akar palem, air terus mengalir. Dan di atas rumah itu, burung rawa kembali bernyanyi, mengirimkan berita pada angin: bahwa di tengah lumpur dan sunyi, sebuah rumah telah bertumbuh, rumah untuk semua yang bersedia mencintai, bukan menguasai.
Bersambung
Merauke, 10 September 2025
Agustinus Gereda
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI