Semut-semut menatap satu sama lain. Sebuah palem bukan hanya tanaman. Ia akan menjadi lambang, menandai tempat di mana udara, tanah, dan makhluk saling menyatu.
"Maukah kau menanamnya sendiri?" tanya Rawari.
Patu mengangguk. "Bukan aku sendiri. Aku akan tanam bersama anak-anak. Biar mereka tahu bahwa harapan harus mereka jaga sejak kecil."
Dan begitu malam tiba, setelah kerja seharian yang tak disaksikan matahari, mereka semua berkumpul. Di titik tertinggi dari sarang bawah tanah, di tempat cahaya bulan bisa menyelinap lewat celah daun ketapang, Patu berdiri dengan biji palem kecil di pelukannya.
"Dari dalam tanah, kita hidup. Dari dalam tanah, kita bangun. Tapi dari dalam tanah pula, kita kirim udara ke dunia di atas."
Ia lalu menanam biji itu, perlahan, dengan kedua antenanya bergetar.
Dan ketika biji itu menyentuh tanah, seolah semua suara rawa terdiam. Lalu, angin pelan berhembus dari arah hulu, melewati akar-akar kayu bus, menelusup ke lubang udara, dan menyentuh wajah-wajah lelah para pekerja kecil itu.
Udara di dalam tanah tak lagi sesak. Ia kini menjadi napas bersama, udara harapan.
Rumah yang Bertumbuh
Fajar menyapa dengan kabut tipis yang menggantung di atas hamparan rawa. Embun masih menetes dari ujung daun ketapang, mengalir perlahan ke tanah hitam yang lembap dan penuh kehidupan. Di balik rerimbun bakau, aroma lumpur dan akar membaur seperti bisikan leluhur yang memeluk dunia.
Di tengah padang itu, berdirilah sebuah pohon palem muda, tunas yang beberapa hari lalu ditanam oleh Patu dan anak-anak. Akarnya merambat ke dalam tanah, menembus lorong-lorong sarang Musamus yang kini jadi jantung dari Menara Harapan.