"Lihat... daunnya mulai merekah," ujar Rawari dengan suara serak lembut. Ia berdiri di samping Patu, menatap pucuk palem yang mengarah ke langit.
"Daun itu seperti jari Musamus," gumam Patu. "Menggenggam langit dari dalam tanah."
Di sekitar mereka, semut-semut bekerja tanpa henti. Ranting-ranting kecil yang diambil dari pinggiran rawa mulai dipasang menjadi rangka rumah. Dindingnya dirancang dari anyaman daun palem dan ilalang, disambung lumpur dan akar bambu yang kuat. Tapi rumah ini bukan sekadar tempat berteduh. Ini adalah bagian dari tubuh tanah, tumbuh perlahan seperti jamur setelah hujan.
"Kita tidak sedang membangun rumah," kata Patu kemudian. "Kita sedang menumbuhkan rumah."
"Apa bedanya?" tanya Tera, si semut muda, yang tengah menyusun ranting-ranting kayu bersama teman-temannya.
Patu menoleh dan tersenyum. "Kalau membangun, kita hanya menumpuk bahan. Tapi kalau menumbuhkan, kita mendengar suara tanah, napas air, dan detak jantung akar. Rumah itu akan hidup bersama kita."
Dari sisi rawa, suara gemercik air muncul. Seekor ikan gabus meloncat keluar dari genangan dan mendarat tepat di depan Patu.
"Patu, aku dengar kalian bangun sarang baru," katanya dengan napas pendek. "Apa kami boleh ikut tinggal?"
"Rumah ini bukan milik satu bangsa," jawab Patu. "Ini rumah untuk semua yang menjaga, bukan merusak."
Ikan itu menyeringai. "Aku janji tak akan menggali liang di bawah pondasi seperti dulu."
Dari balik semak, seekor kepiting merah muncul dengan seikat akar nipah di capitnya. "Aku bawa pengikat lumpur!" serunya. "Akar ini bisa jadi fondasi yang kuat. Kalau kalian ikat dengan batang bambu muda, dinding rumah tidak akan mudah rubuh."