"Kau memang cerdik, Kapi," kata Rawari.
"Cerdik karena sering dikejar burung rawa," jawab Kapi sambil tertawa.
Hari itu, rawa berubah jadi panggung perayaan diam-diam. Semua makhluk, dari belut yang menggali lorong air, udang yang membersihkan dasar kolam, hingga burung-burung kecil yang membawa benih ilalang, saling menyumbang bagian untuk rumah itu.
Di sisi timur, seekor burung mambruk berdiri di atas pohon ketapang yang sudah tua. Dari paruhnya yang panjang, ia menjatuhkan serat kayu kering.
"Untuk atap," katanya lantang. "Musamus pernah menolongku melepas duri dari kakinya. Kini saatnya kubalas."
Patu menengadah. "Ia tak pernah minta dibalas. Tapi kau telah mengerti satu hal penting: rumah sejati bukan hanya dinding dan atap, tapi juga ingatan dan kasih."
Sore menjelang. Langit mulai merah saga, dan kabut kembali turun perlahan, menyelimuti pucuk-pucuk palem dan bambu yang telah disusun membentuk bingkai bangunan. Rumah itu tampak seperti bagian dari hutan, bukan sesuatu yang ditambahkan, melainkan yang memang lahir dari sana.
"Patu," bisik Tera yang duduk di atas akar palem, "Musamus pasti bangga."
Patu menatap ke kejauhan, ke arah gundukan sarang tua yang perlahan ditelan rerumputan. Ia bisa merasakan suara Musamus masih bergema di dalam tanah---bukan dalam kata-kata, melainkan dalam napas dan gerak makhluk yang hidup.
"Musamus tidak ingin kita hanya mengenangnya," jawab Patu pelan. "Ia ingin kita melanjutkan. Menjadi akar, bukan bayang."
Malam pun turun, pelan seperti jubah gelap yang menutupi tanah. Bintang-bintang bermunculan di langit, memantulkan cahaya redup ke permukaan air rawa. Rumah itu kini berdiri, belum sempurna tapi sudah bernyawa. Dari dalam, terdengar suara semut-semut kecil menyanyikan lagu yang pernah diajarkan Musamus, lagu tentang kebersamaan, tentang tanah yang mendidik, dan air yang menyucikan.