Mohon tunggu...
Afroh Fauziah
Afroh Fauziah Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

Pemahaman

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kungkungan Buatan

10 Februari 2021   02:44 Diperbarui: 10 Februari 2021   03:01 2639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kau tak takut melanggar peraturan di tempat kita, tapi kau bisa takut pada air yang selama ini menjadi bahan pelajaran kita?" tanyaku heran.

"Bagaimana kalau kita terseret air? Aku lihat di ujung sana sepertinya ada air terjun lagi." ucap Ida. Dengan begitu aku menengok pada arah yang dilihat olehnya, tapi tak kudapati apapun selain aliran air yang tak tau sampai mana ujungnya.

"Dimana Ida? Aku tak melihat sungai ini mengarah pada air terjun lagi," keheranan itu dibuyarkan oleh teriakkan Aca, "Gerangan apa yang sedang kalian perdebatkan disana? Tak lihatkah wahai kawan aliran airnya semakin deras?"

"Bagaimana ini?" tanya kembali Ida.

"Bagaimana apanya lagi? Ya ayo jalan bukan banyak berbincang." jawabku sembari menarik tangan Ida menuju sungai. Langkah kakiku mulai menyentuh batu pertama, hm tidak buruk, batu ini memang kokoh untuk menetap diantara arus air disekelilingnya. Terpaan butir-butir air yang menyapa pipi dapat membuatku hampir kembali terbuai. Sungguh menyejukkan. Selanjutnya aku melepas genggaman tanganku pada Ida, "Hey kenapa dilepas? Kau mau aku jatuh?" protesnya. "Justru agar kau tidak jatuh. Kalau kita berpegangan maka sulit menyesuaikan keseimbangan dua tubuh diatas bebatuan ini." jelasku.

Belum sampai kami berdua mencapai pertengahan sungai, suara deru air terdengar disekeliling pendengaran kami. Dengan mengikuti insting, menengoklah kami pada suara yang bersangkutan. Hanya dengan kedipan mata, air yang semula tenang itu beringsut layaknya api yang marah, air pun bisa menjelma menjadi hal yang menakutkan ketika marah. Tanpa pikir panjang, ku percepat langkah kaki yang semula normal. Sebelum melangkah semakin jauh, mendadak suara Aca kembali terdengar, "Ica! Lihat Ida disana!" teriaknya panik. Berpalinglah aku dari arah tujuan ke arah sebaliknya, inginku mencerca bocah itu yang justru terpaku ditempatnya. Bodoh! Tapi tak terucap karena ku tahu itu tak akan mengubah keadaan. Jadi kembalilah aku ke tempat dimana aku telah melaluinya, menggotong tangan bocah yang bisa dibilang putih bersih itu walaupun aku malas mengakuinya, untuk merangsek kesadarannya kembali pada raganya. Untung saja tak perlu ku berpikir untuk menggotong tubuhnya juga karena dia langsung tersadar. Belum lama keuntungan itu kurasakan, gertakan lain yang kuhadapi. Pergelangan tanganku terhuyung-huyung bersama dengan tergelincirnya kaki Ida dibelakangku.

"Aaaaaa kumohon Ida bertahanlah! Paman Bibi apa yang hambamu ini mesti lakukan? Alam tak kah kau lihat ada makhluk kesulitan dihadapanmu? Marilah kawan mengapa kalian pada diaaam?! Oh tidak, Ida aku harus apaa? Ida Ida kau tenang ya tenang!" Sungguh sejak kapan temanku yang normal itu ikut-ikutan bodoh? Si puitis itu bisa bertransformasi jadi tukang dramatis juga?

"Aca! Cepat waras! Kesini dan bantu aku menarik Ida!" tegasku sembari menguatkan genggaman tangan pada Ida yang telah menampakkan raut muka takutnya yang kemudian berevolusi menjadi tangisan.

"Ica! Ida! Dibelakang kalian!" menambah ketegangan diantara kami. Belum sempat aku meneloh bahkan hanya sampai pinggir, ganasnya air langsung mengantam apapun didepannya termasuk manusia sepertiku dan Ida. Kakiku sudah pasti tak bisa menahan gelombang deras itu, maka meluncurlah kami ke dalam sungai yang tengah mengikuti lintasannya itu. Jadi begini ya rasanya terombang-ambing oleh perairan, bahkan isi perutku ikut terkocok. Baiklah jangan panik Ica, jangan panik, cari permukaan cari hey cari! Debatku dengan otak. Saat sedang mengimbangi ombak, tanganku sontak menangkap seonggok kayu entah dari mana yang akan membawaku terambang di permukaan air. Tau aja lagi butuh, batinku. Saat hampir mencapai permukaan, tanganku justru tertarik oleh tangan lainnya. Oh ternyata itu tangan temanku, untung belum kulupakan anak itu, ku balas dengan menarik tangannya untuk menggapai kayu yang akhirnya sampai diatas permukaan. Sapuan tangan pada wajah yang tentu kami lakukan pertama saat berjumpa dengan udara.

Terdengarlah kembali kerusuhan temanku yang satunya lagi untuk mengimbangi derasnya air sungai yang belum berhenti. "Aca! Mendekatlah!" tanpa bantahan dia menunaikannya.

"Ida, dengar! Raihlah tangan Aca dan naiklah ke daratan," perintahku yang mungkin masih diabaikan. "Hey bocah! Cepat ulurkan tanganmu dan raih tangan Aca, tak perlu khawatir, kayu ini kuat untuk tumpuan kita. Cepat!"

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun