Mohon tunggu...
Advertorial
Advertorial Mohon Tunggu... Akun resmi Advertorial Kompasiana

Akun resmi Advertorial Kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

SYNTHETIC VISION: The Age of Fictionalization in Our Culture

16 September 2025   14:28 Diperbarui: 16 September 2025   14:28 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jl. Rancakendal No.7, Cigadung, Kec. Cibeunying Kaler, Kota Bandung, Jawa Barat 40191

Seniman:

  • Akkara Naktamna -- Thailand
  • Bobby Davidson -- USA
  • He Bo -- China
  • Jim Allen Abel -- Indonesia
  • Romina Herrera -- Argentina / Germany
  • Wutthichai Ainchu -- Thailand
  • Zhang Xiao -- China

Kurasi:

Synthetic Vision: Synthetic Musings

Di era realitas sintetik---yakni ketika pengalaman kita banyak dimediasi, dibentuk, atau bahkan diproduksi oleh teknologi (AI, VR, AR, simulasi, deepfake, dan sebagainya)---muncul kekhawatiran bahwa seni hanya akan jatuh pada permainan bentuk, efek, atau hiperrealitas. 

Namun justru di situlah peluangnya. Karya seni di era ini mampu menghadirkan rasa asing, ambigu, bahkan paradoks. Dalam ambiguitas itulah penonton sering dipaksa berhenti, hening, lalu merenung. Sebuah karya AI yang meniru "emosi," misalnya, dapat memicu pertanyaan: apakah yang kita alami adalah keaslian, atau sekadar proyeksi?

Kontemplasi bukanlah monopoli medium tertentu. Sejak lukisan gua hingga instalasi berbasis AI, nilai kontemplatif lahir dari bagaimana pengalaman diolah menjadi kesadaran, bukan dari bahan mentahnya. 

Realitas sintetik memang berisiko terjebak pada konsumsi instan atau estetika dangkal, tetapi justru dengan menyadari sifat buatannya, manusia diarahkan untuk merefleksikan ketergantungan pada teknologi, keterbatasan persepsi, serta sifat ilusi dunia. Dengan demikian, kontemplasi bukan hanya tetap mungkin, melainkan semakin mendesak di tengah simulasi tanpa akhir.

Fotografi memiliki posisi unik. Sejak awal ia dianggap "cermin realitas," tetapi kini realitas itu sendiri dapat direkayasa melalui AI, deepfake, atau CGI. 

Fotografi sintetik tidak lagi sekadar merekam, melainkan mencipta. Nilai kontemplatifnya muncul bukan karena ia menghadirkan kenyataan, melainkan karena ia membongkar relasi kita dengan kenyataan. 

Jean Baudrillard (1981) menyebut kita hidup dalam "hiperrealitas," di mana tanda-tanda hanya merujuk pada simulasi lain. Walter Benjamin (1936) lebih awal menyinggung hilangnya "aura" dalam reproduksi massal; kini persoalannya lebih jauh: produksi tanpa asal. Sementara Vilm Flusser (1983) menekankan bahwa "aparat" membentuk cara kita melihat, dan dalam realitas sintetik aparat itu adalah AI serta algoritma.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun