Jl. Rancakendal No.7, Cigadung, Kec. Cibeunying Kaler, Kota Bandung, Jawa Barat 40191
Seniman:
- Akkara Naktamna -- Thailand
- Bobby Davidson -- USA
- He Bo -- China
- Jim Allen Abel -- Indonesia
- Romina Herrera -- Argentina / Germany
- Wutthichai Ainchu -- Thailand
- Zhang Xiao -- China
Kurasi:
Synthetic Vision: Synthetic Musings
Di era realitas sintetik---yakni ketika pengalaman kita banyak dimediasi, dibentuk, atau bahkan diproduksi oleh teknologi (AI, VR, AR, simulasi, deepfake, dan sebagainya)---muncul kekhawatiran bahwa seni hanya akan jatuh pada permainan bentuk, efek, atau hiperrealitas.Â
Namun justru di situlah peluangnya. Karya seni di era ini mampu menghadirkan rasa asing, ambigu, bahkan paradoks. Dalam ambiguitas itulah penonton sering dipaksa berhenti, hening, lalu merenung. Sebuah karya AI yang meniru "emosi," misalnya, dapat memicu pertanyaan: apakah yang kita alami adalah keaslian, atau sekadar proyeksi?
Kontemplasi bukanlah monopoli medium tertentu. Sejak lukisan gua hingga instalasi berbasis AI, nilai kontemplatif lahir dari bagaimana pengalaman diolah menjadi kesadaran, bukan dari bahan mentahnya.Â
Realitas sintetik memang berisiko terjebak pada konsumsi instan atau estetika dangkal, tetapi justru dengan menyadari sifat buatannya, manusia diarahkan untuk merefleksikan ketergantungan pada teknologi, keterbatasan persepsi, serta sifat ilusi dunia. Dengan demikian, kontemplasi bukan hanya tetap mungkin, melainkan semakin mendesak di tengah simulasi tanpa akhir.
Fotografi memiliki posisi unik. Sejak awal ia dianggap "cermin realitas," tetapi kini realitas itu sendiri dapat direkayasa melalui AI, deepfake, atau CGI.Â
Fotografi sintetik tidak lagi sekadar merekam, melainkan mencipta. Nilai kontemplatifnya muncul bukan karena ia menghadirkan kenyataan, melainkan karena ia membongkar relasi kita dengan kenyataan.Â
Jean Baudrillard (1981) menyebut kita hidup dalam "hiperrealitas," di mana tanda-tanda hanya merujuk pada simulasi lain. Walter Benjamin (1936) lebih awal menyinggung hilangnya "aura" dalam reproduksi massal; kini persoalannya lebih jauh: produksi tanpa asal. Sementara Vilm Flusser (1983) menekankan bahwa "aparat" membentuk cara kita melihat, dan dalam realitas sintetik aparat itu adalah AI serta algoritma.