Di sini, Wiji Thukul bagaimana narasi elit tentang "yang lain" dibentuk. Si Bejo digambarkan sebagai anak nakal, jorok, dan sumber penyakit. Penggambaran ini mencerminkan stereotip kelas bawah yang dianggap tidak menjaga kebersihan, tidak terdidik, dan bisa membawa "pengaruh buruk". Pola pikir seperti ini diwariskan lewat pola asuh yang menanamkan ketakutan pada perbedaan kelas.
"pulanglah nang
kamu kan punya mobil-mobilan
kapal terbang bikinan taiwan
senapan atom bikinan jepang
kamu kan punya robot yang bisa jalan sendiri"
Kontras sosial semakin tajam di sini. Nang diposisikan sebagai anak yang memiliki mainan mahal dan canggih dari luar negeri. Kepemilikan materi menjadi identitas sosial yang membedakan dan "mengangkat derajat" dari teman-temannya yang miskin. Wiji menyindir keras bagaimana konsumsi atau status material dijadikan sebuah sarana untuk menjaga jarak antara kaum elite dan kaum rendahan.
"pulanglah nang
nanti kamu digebugin mamimu lagi
kamu pasti belum tidur siang"
Intonasi berubah menjadi ancaman atau kontrol. Ibu si Nang digambarkan adalah seorang yang kejam jika si anak tidak patuh. Tidur siang di sini digambarkan bukan hanya sekadar rutinitas, melainkan sebuah bentuk dari keteraturan dan disiplin yang kaku---karakteristik pola asuh kalangan kelas menengah-atas yang mengejar kesempurnaan.