jangan dolan sama anaknya mbok sukiyem
mbok sukiyem memang keterlaluan
si slamet sudah besar tapi belum disekolahkan
pulanglah nang
pasti papimu marah lagi
kamu pasti belum bikin PR
belajar yang rajin
biar nanti jadi dokterSolo, September 86Â
Kita mungkin tak asing untuk mengetahui atau bahkan mengenal sosok Wiji Thukul---seorang penyair sekaligus aktivis yang terkenal karena vokal mengkritik sistem pemerintah Orde Baru. Lahir dari lingkungan pekerja, Wiji Thukul tidak menulis dari menara gading (kehidupan yang serba enak), melainkan dari jalanan, lorong-lorong, dan denyut kehidupan rakyat kecil yang ia amati sehari-hari. Puisi-puisinya bukan sekadar karya estetis, tetapi sebagai bentuk representasi dan ekspresi dari kehidupan yang penuh ketidakadilan---protes atas penindasan, kesenjangan kelas, dan kesewenang-wenangan. Salah satu karya beliau yang kini tengah saya nikmati adalah kumpulan puisi "Aku Ingin Jadi Peluru".
Saat membuka halaman pertama, saya langsung disambut dengan puisi yang mengisahkan tokoh Nang (atau mungkin Lanang/laki-laki) yang disuruh pulang karena suka bermain dengan anak-anak kampungan. Awalnya, saya kira puisi ini adalah gambaran tentang keresahan orang tua terhadap anaknya agar tak sering-sering bermain di luar---menghindari lingkungan yang dianggap "kurang baik". Â Tapi setelah dimaknai secara mendalam, ada pesan implisit yang hendak disampaikan di dalamnya. Wiji Thukul tengah mengkritik pola asuh keluarga menengah-atas yang tidak memperbolehkan anaknya untuk bermain dengan anak-anak kalangan bawah yang mereka anggap nakal, mbeling, kotor, bahkan tidak sekolah.
"pulanglah nang