Mohon tunggu...
Aditya Rekhi Salim
Aditya Rekhi Salim Mohon Tunggu... Mahasiswa biasa yang "dipaksa" suka membaca || S1 Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah || State University of Malang

eat, sleep, learning

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pulanglah, Nang: Ktitik Elitisme dalam Puisi Karya Wiji Thukul

21 April 2025   02:46 Diperbarui: 21 April 2025   02:46 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Kumpulan Puisi "Aku Ingin Jadi peluru" karya Wiji Thukul (Sumber: Leo Juliawan/leojuliawan.net)

jangan dolan sama anaknya mbok sukiyem

mbok sukiyem memang keterlaluan

si slamet sudah besar tapi belum disekolahkan

pulanglah nang

pasti papimu marah lagi

kamu pasti belum bikin PR

belajar yang rajin

biar nanti jadi dokterSolo, September 86 

Kita mungkin tak asing untuk mengetahui atau bahkan mengenal sosok Wiji Thukul---seorang penyair sekaligus aktivis yang terkenal karena vokal mengkritik sistem pemerintah Orde Baru. Lahir dari lingkungan pekerja, Wiji Thukul tidak menulis dari menara gading (kehidupan yang serba enak), melainkan dari jalanan, lorong-lorong, dan denyut kehidupan rakyat kecil yang ia amati sehari-hari. Puisi-puisinya bukan sekadar karya estetis, tetapi sebagai bentuk representasi dan ekspresi dari kehidupan yang penuh ketidakadilan---protes atas penindasan, kesenjangan kelas, dan kesewenang-wenangan. Salah satu karya beliau yang kini tengah saya nikmati adalah kumpulan puisi "Aku Ingin Jadi Peluru".

Saat membuka halaman pertama, saya langsung disambut dengan puisi yang mengisahkan tokoh Nang (atau mungkin Lanang/laki-laki) yang disuruh pulang karena suka bermain dengan anak-anak kampungan. Awalnya, saya kira puisi ini adalah gambaran tentang keresahan orang tua terhadap anaknya agar tak sering-sering bermain di luar---menghindari lingkungan yang dianggap "kurang baik".  Tapi setelah dimaknai secara mendalam, ada pesan implisit yang hendak disampaikan di dalamnya. Wiji Thukul tengah mengkritik pola asuh keluarga menengah-atas yang tidak memperbolehkan anaknya untuk bermain dengan anak-anak kalangan bawah yang mereka anggap nakal, mbeling, kotor, bahkan tidak sekolah.

"pulanglah nang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun