Tawar-Menawar di Larantuka
Bapak membelinya di Larantuka, tahun ketika gaji pegawai negeri baru saja naik. Waktu itu, 1978, angka yang sampai kini masih melekat di ingatan, seperti coretan arang di pintu kayu. Di sebuah toko perkakas dekat pelabuhan, lampu petromaks itu menggantung di atas meja kayu tua. Kilau logamnya berpendar samar ditimpa cahaya sore, seolah-olah ada bulan yang diturunkan ke dalam ruangan. Aku terpaku, tak bisa melepaskan pandangan.
"Berapa harganya, tuan?" suara Bapak tenang, tapi tegas.
"Empat ribu rupiah," jawab si pemilik toko singkat, suaranya datar.
Bapak tersenyum tipis, lalu menawar sepertiga harga, "Seribu lima ratus."
Si pemilik toko langsung terbatuk. "Ah, Bapak ini, masa hanya segitu? Itu cuma sepertiganya! Barang bagus, datang dari Surabaya. Mana mungkin saya kasih harga segitu."
Bapak tak tergesa, jemarinya tetap mengusap bagian tangki. "Tuan, lampu ini untuk anak-anak. Mereka harus belajar. Kalau ada terang, masa depan mereka bisa lebih baik. Bukankah dagangan sebaiknya juga membawa manfaat?"
Wajah si pemilik toko memerah. Ia menelan ludah, menahan jengkel. "Kalau semua pembeli seperti Bapak, habislah saya. Bisa bangkrut."
"Bangkrut? Tidak," jawab Bapak sambil menoleh sebentar kepadaku. "Kalau anak-anak saya berhasil, nanti semua kebutuhan rumah akan kami beli di toko ini. Paku, ember, cangkul, kawat, semuanya."
Keheningan jatuh. Hanya ombak dari pelabuhan yang terdengar dari jendela kayu. Akhirnya, dengan nada pasrah, si pemilik toko berkata, "Dua ribu tujuh ratus. Itu harga terakhir."
Bapak mengangguk, seolah sedang mempertimbangkan, lalu menepuk pundakku. "Ya sudah, kita bawa pulang. Anak-anak harus punya cahaya."