Aku tak akan menjelaskan keriuhan saat lampu hijau menyala. Keberadaannya, seperti terwujudnya segala pinta dan terkabulnya segala doa. Mampu membuat orang-orang sejenak melupakan cerita luka dari berita duka yang menciptakan derita.
Nyala lampu hijau sebagai pertanda selalu ada harapan. Siapapun masih bisa berujar berbagai pinta, atau melontarkan bisikan doa meski di ruang hampa.
Satu hal yang mesti dilakukan seiring beragam tindakan. Bertahan dalam penantian.
Sesungguhnya, aku enggan menulis tentang begitu heningnya keberadaan lampu berwarna kuning. Nyalanya menghadirkan keraguan! Harus memutuskan berhenti atau melanjutkan perjalanan?
Jika tujuan keberadaannya adalah sebagai pengingat untuk bersiap-siap, bukankah perjalanan kehidupan adalah sebuah persiapan? Jika pesannya agar berhati-hati, bukankah lika-liku hidup adalah tahap ujian diri?
Namun, aku tak begitu menyakini kebenaran pikiranku itu. Aku tak tega menyatakan keberadaan lampu kuning itu tak penting. Mungkin saja dibutuhkan di saat-saat genting.
***
Waktu bergulir tak biasa. Mungkin terlalu luar biasa. Akhirnya aku menemukanmu.
Bukan di antara nyala lampu merah yang menciptakan tawa dan amarah, nyala lampu kuning yang menghadirkan keraguan, atau warna hijau lampu yang mampu hadirkan kebahagiaan. Sebab, jalanan sudah semakin sepi dari lalu lalang kendaraan.
Akupun tak menemukanmu di antara sebagian orang-orang yang kembali berucap salam, mengetuk pintu  dan memasuki rumah. Tidak juga di antara orang-orang yang menjauhi pintu tanpa berucap salam, dan tanpa pernah memasuki rumah.
Senja itu, aku menemukanmu pada satu pintu tanpa rumah. Berharap dalam tunggu, kembali kutemui ibu. Juga ayah.