Bapak dilahirkan saat perang. Sejak aku bisa bicara, bapak suka bercerita.
"Kau tahu? Perang itu serba susah. Keluar rumah hanya boleh pagi. Ada atau tak ada rezeki, sore harus kembali. Makanya, orang dulu hanya makan satu kali sehari."
Bapak melirik ibu
Ibu memeluk adikku
Adikku menatapku
Akupun menyerahkan piring berisi nasiku
Bapak dilahirkan saat perang. Saat aku sekolah, bapak masih sering berkisah.
"Kau beruntung! Dulu, aku belajar pakai batu. Ditulis, diingat dan segera dihapus. Bersekolah itu artinya berguru. Tak sempat memikirkan baju atau buku. Apalagi sepatu?"
Bapak tersenyum pada ibu
Ibu mengusap kepala adikku
Adikku memegang sepatu baru
Akupun tahu harus menunggu
Bapak dilahirkan saat perang. Aku beranjak remaja, bapak mengajakku menanti senja. Bercerita.
"Aku beruntung! Senja banyak menyimpan rahasia. Dulu, senja adalah waktu untuk bekerja. Menjadi mata-mata, mencuri senjata atau memulai gerilya. Tubuhku penuh bekas luka, tapi tak berujung kehilangan nyawa."
Bapak tersenyum ragu
Ibu duduk di hadapan adikku
Adikku tidur tenang di dekat pintu
Aku tahu, tubuh itu semakin kaku
Bapak dilahirkan saat perang. Sekarang berdiam tenang dalam kenangan.
"Kau harus tahu. Bapakmu pejuang, Nak!"
Ibu menatap susunan batu
Aku memeluk ibu
Langit pun membisu