Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sekolah Anakku, Sekolahku Dulu

18 November 2019   14:10 Diperbarui: 18 November 2019   15:27 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by pixabay.com

Budayakan 3 S!

Senyum

Sapa

Salam

Mataku menyigi tulisan itu. Tertera pada gambar seukuran poster, berlatar belakang seorang guru dan beberapa orang siswa yang sedang berbaris rapi menunggu untuk bertukar salam persis di dekat gerbang sekolah. Gambar poster itu, terpajang di dekat pintu masuk ruang kepala sekolah.

Hampir duapuluh menit, aku duduk dan menunggu di bangku panjang, yang tersedia di depan pintu pimpinan tertinggi di sekolah itu. Beberapa orang berseragam, dengan pakaian putih bercorak batik, serta mengenakan bawahan hitam, tampak tergesa lalu lalang di hadapanku. Menuju satu ruangan yang bertulis "Ruang Guru".

Tadi, satpam menyambutku di depan pintu gerbang, tanpa banyak pertanyaan, dan bersedia mengantar serta mempersilahkan aku duduk menunggu di bangku panjang ini. Pun, dari satpam itu, aku jadi tahu. Jika setiap pagi senin, selesai upacara, semua guru mengadakan rapat rutin mingguan.

Tak kudengar riuh suasana sekolah. Ingatanku kembali ke masa sekolah dulu. Jika pelajaran kosong, atau tak ada guru. Maka ruang kelas akan seperti pasar, terminal, bahkan bisa bertukar situasi menjadi taman bermain anak-anak.

Ragam kegaduhan yang bersumber dari tingkah laku, suara nyanyian atau teriakan tak jelas, bunyi kursi dan meja yang digeser sembarang, aneka bentuk kertas yang dirobek dari buku tulis, akan bermetamorfosis menjadi pesawat terbang, roket, kupu-kupu, aneka burung, juga granat tangan dari kertas yang diremas-remas.

Bahkan, semua perlengkapan kelas, semisal sapu ijuk, serbet, kemoceng, penghapus dan kapur tulis bertukar fungsi menjadi mainan. Kelas menjadi ajang kreativitas ajaib dari seluruh penghuni kelas.  

***

"Siapa yang memulai?"

Mata Bu Anis menghunjam manik mataku. Dan, aku lebih memilih sikap seperti semua anak-laki-laki yang berbaris di sampingku. Diam, menundukkan kepala dan berdiri tegak tak bergerak di depan kelas. Anak-anak perempuan, juga memilih sikap yang sama. Namun duduk manis di bangku masing-masing. Suasana kelas hening. Menunggu keputusan Bu Anis.

Pojokan lapangan bola, adalah tempat sempurna bagiku dan teman-teman berkumpul sepulang sekolah. Semua duduk melingkar di rerumputan, nyaris serentak membuka sepatu dan kaos kaki. Saling pandang dan bertukar tawa, seraya memamerkan betis masing-masing. Jejak-jejak tempelan mistar kayu sepanjang satu meter, menjadi keputusan sekaligus kenang-kenangan dari Bu Anis hari itu. Tak pernah ada pikiran untuk protes!

Semua penghuni kelas sadar. Selalu ada badai yang dituai, jika nekad menabur angin. Tujuan menunda pulang ke rumah hari itu, adalah bagaimana memar bekas mistar panjang itu singgah, tak diketahui orangtua. Atau risikonya, bakal ada bonus! Orang tua jadi malu, karena ke sekolah bukan untuk belajar, tapi dihajar!

***

"Masuk, Pak!"

Berjarak dua meter. Suara dari mulut wanita muda itu terdengar jelas. Dan mendahului masuk ke ruang kepala sekolah. Tak ada siapapun di bangku panjang itu. Aku mengerti, ajakan itu tertuju untukku.

Bergegas bangkit dari dudukku. Terburu membuka sandal, dan melangkah perlahan sambil berusaha tersenyum.

"Assalammu'alaikum!"

"Silahkan duduk!"

"Terima kasih, Bu."

Ibu kepala sekolah tak memandangku. Sepertinya, pagi yang sibuk. Aku dengar beberapa kali bergumam tak jelas, sambil membolak-balikkan kertas dalam map hijau di hadapannya.

Kukira hampir sepuluh menit, tanpa ada percakapan. Mataku menyapu deretan foto-foto berukuran besar berbingkai warna emas, terpasang di dinding. Termasuk pemilik wajah yang duduk di hadapanku saat ini. Senyum manis dari wajah cantik dan tampak pintar. Terpasang dalam pigura sedikit berbeda dan masih terlihat baru.

Mataku terpaku menatap wajah Bu Anis. Ternyata, sosok guru yang disegani itu. Pernah menjadi kepala di sekolah ini. Aku kembali mengenang sosok teladan bagiku itu. Hingga kudengar suara bernada pertanyaan, diajukan padaku.

"Walinya Andi. Kelas satu, kan?"

"Iya, Bu!"

"Ini, kali ketiga dipanggil, ya?"

"Eh? Iya, Bu. Waktu itu uang sekolah..."

"Sumbangan! Bukan uang sekolah!"

"Iya, Bu!"

Lidahku tiba-tiba kaku. Wajahku memerah malu. Aku mengingat dua bulan lalu. Saat datang dan melunasi tunggakkan. Terserah jika itu disebut sumbangan. Bagiku itu tetap bermakna uang sekolah.

"Hal itu, sudah lunas, Bu!"

"Iya! Bapak tahu, kenapa dipanggil?"

Tegas, terukur dan meluncur deras, kalimat-kalimat dari kepala sekolah. Memaksa aku untuk mendengar dan sesekali anggukkan kepala. Akupun tahu, sosok wanita di hadapanku, baru satu bulan menjabat. Dan langsung ditugaskan di sekolah anakku. Juga keinginannya untuk meningkatkan kualitas seluruh anak didik, menjadi yang terbaik.

"Dari laporan wali kelas, Bapak salah satu yang tak setuju dengan kebijakan ini?"

"Bukan tak setuju, Bu! Tapi biaya..."

"Aplikasi itu murah, Pak! Dan mudah digunakan oleh anak-anak tanpa bantuan guru!"

"Bisa dimengerti, Bu!"

"Nah! Bapak tinggal bekali anak dengan laptop atau ponsel. Jadi.."

Aku kembali menyimak ujaran dari kepala sekolah. Aku merasa bukan menghadapi seorang Kepala sekolah, tapi mendengarkan deretan pariwara yang acapkali kulihat dan kudengar di televisi.

"Andi masih kelas satu, Bu!"

"Makanya, sejak dini harus dikenalkan teknologi!"

"Tapi.."

"Mau jadi apa anak Bapak, nanti? Masa kini, teknologi..."

Kukira, satu jam pertemuan. Dan berakhir dengan pilihan, anakku tetap bersekolah di sini atau pindah. Sekali lagi, kupandangi wajah Bu Anis. Senyuman dan mata itu kurasakan tertuju untukku. Mungkin agak lama, hingga kepala sekolah pun mengikuti sorot mataku.

"Bapak mengenal Bu Anis?"

"Iya."

"Artinya, Bapak alumni sekolah ini?"

"Belasan tahun lalu. Beliau guru yang hebat!"

"Iya. Satu-satunya guru teladan yang pernah mewakili sekolah ini!"

"Beliau pantas menerima itu, kan?"

"Saya pun ingin seperti Bu Anis. Mudah-mudahan tahun ini giliran saya!"

Tak ada lagi yang perlu diujarkan. Juga tak ada senyuman dan tak ada acara bertukar salam. Aku segera keluar dari ruangan kepala sekolah. Paru-paruku ingin menghirup udara segar, menggantikan aroma parfum yang pekat di ruang kepala sekolah. Melewati poster "Budayakan 3 S". Aku jadi, tahu, sosok guru di poster itu adalah ibu kepala sekolah.

Sambil melangkah menuju gerbang sekolah. Aku kembali membayangkan senyuman dari Bu Anis. Juga mengenang omelan dan wajah penuh kejengkelan. Saat aku dan beberapa teman sambil bermain, sibuk membersihkan WC sekolah. Sebagai bentuk hukuman, karena terlambat masuk atau lupa mengerjakan tugas sekolah.

Kurasakan, senyumku berubah menjadi bunyi tawa tertahan. Saat kusadari, WC yang nyaris setiap minggu kubersihkan dulu. Sekarang adalah ruang kepala sekolah.

Curup, 18.11.2019

Zaldychan

[Ditulis untuk Kompasiana]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun