Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Nyai Rumi

18 September 2019   20:25 Diperbarui: 19 September 2019   05:05 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by pixabay.com

Yai Jati ditemukan mati di dangau. Perkiraan polisi, waktu kematian sudah tiga hari. Tak ada tanda kekerasan atau bunuh diri. Kesimpulan outopsi, itu kematian alami.

"Bilang istrinya, Abang yang terakhir ke situ?"

Mata Kades Badri menatapku. Juga dua orang polisi yang duduk di hadapku. Pelan, Kuanggukkan kepala. Tiga hari lalu, Nyai Rumi, istri Yai Jati. Memintaku mengantarkan gula dan kopi untuk persediaan Yai Jati.

"Iya! Pagi. Sebelum ngojek!"

"Yai tampak sakit?"

"Gak! Sehat. Malah pagi itu, Yai baru keliling kebun!"

Kades Badri anggukkan kepala. Tapi tidak dua pasang mata dari kedua polisi tersebut. Naluri lelakiku tersentak. Kubalas dengan tatapan tajam. Mata kedua penegak hukum itu, beralih memandang Kades Badri. Aku diam menunggu.

Tempat pemakaman itu, berangsur sepi. Tertinggal Nyai Rumi yang masih duduk di sisi gundukan tanah yang memerah dengan aneka bunga dan potongan kecil daun pandan. Aku, Kades Badri dan dua orang polisi, berdiri dengan jarak belasan meter dari kuburan Yai Jati.

Perlahan, Nyai Rumi berdiri. Berbalik badan, dan bergerak pelan menuju ke arah Kades Badri. Wajah layaknya perempuan yang ditinggal mati suami, terpancar di wajah Nyai Rumi. Sekilas Nyai Rumi menatapku. Pun tak kentara, kuanggukkan kepala.

"Kita pulang?"

Suara Kades Badri, diiringi anggukan Nyai Rumi. Empat pasang mata menatapku. Kukira, tatapan mengajak bersama pulang. Aku tersenyum.

"Duluan aja! Aku mau tinggal sebentar!"

"Tapi, dua Bapak polisi ini mau..."

"Tenang saja. Aku takkan lari! Pulang kemana?"

"Rumah Yai Jati!"

"Tunggu aku di sana!"

Tak lagi menunggu. Aku bergerak menuju kuburan Yai Jati. Duduk bersimpuh, mengeja doa yang aku ingat dan aku bisa. Sekaligus mengenang Yai Jati

**

"Maafkan aku, ya?"

Aku terkejut! Tanpa sebab, Yai Jati ucapkan kata maaf, saat ajukan segelas kopi hangat ke hadapku. Sejak menikah. Pagi itu, pertama kali aku bertemu. Saat Nyai Rumi memintaku mengantarkan gula dan kopi.

Seperti Yai Jati, yang tak kalah terkejut ketika melihat kedatanganku tadi. Hingga memaksa aku untuk singgah dan duduk berdua di dangau.

Sambil menunggu habiskan sajian segelas kopi. Aku menjadi pendengar. Yai Jati bercerita tentang kebun cabe yang terserang hama, hingga pucuk tangkai cabe yang menjadi keriting. Juga tentang aneka kabar baru yang didengar Yai Jati dari radio yang menemani kesendiriannya di dangau.

"Sepuluh hari, Aku tak pulang ke rumah, Bang!"

"Iya. Nyai juga bilang begitu!"

"Rumi! Jangan panggil Nyai!"

"Iya! Rumi!"

"Abang tahu alasannya?"

"Rumi cuma bilang. Yai tak pulang!"

"Oh!"

Yai, diam dan melempar pandang ke hamparan pohon cabe di hadapan dangau. Belasan tahun jarak usia antara Yai Jati dan Nyai Rumi. Dan aku lebih tua beberapa hari dari Yai Jati yang berusia pertengahan empat puluh. Belum ada kisruh yang kudengar, sejak sepuluh hari pernikahan mereka. Pun, aku tak peduli dengan aneka isu rumah tangga orang.

"Di minum, Bang!"

"Oh, iya! Makasih."

Kureguk sedikit gelas berkopi. Masih terasa panas di ujung bibir. Aku pun memilih diam dan menunggu suara Yai Jati.

Hingga tandas isi gelas dan bersisa ampas kopi. Tak lagi ada cerita tentang Nyai Rumi. Pun tak kudengar alasan meminta maaf. Pagi itupun hanya di dominasi suara Yai Jati.

Tugasku, mendengar, anggukkan kepala dan habiskan kopi. Aku harus segera beranjak pergi dari dangau itu. Meninggalkan Yai Jati yang kembali sendiri.

**

"Bang! Maafkan aku, ya?"

Nyai Rumi, sesaat menatapku. Namun segera alihkan pandangan ke aspal hitam di bawah roda depan motorku. Aku masih memegang kantong kresek hitam berisi gula dan kopi titipan. Mataku menatap Nyai Rumi. Sepuluh hari, tak kulihat wajah itu. Wajah yang memeluk pilu.

"Untuk apa?"

Nyai Rumi gelengkan kepala. Bergegas ayunkan langkah menjauh. Dan, segera memasuki rumah. Akupun berlalu, dengan aneka pertayaan dan rasa ingin tahu yang bergentayangan di kepalaku.

**

"Aku mau menikah!"

"Hebat!"

"Dengan Rumi!"

"Bagus!"

Mata Yai Jati menatapku. Sambil tersenyum, kuajak bertukar salam. Kutepuk pelan bahunya. Yai Jati memeluku erat. Sejak kecil, kami berteman  dekat dan akrab. Aku tahu semua tentangnya. Tapi tidak sebaliknya.

**

"Berapa lama, Abang di dangau?"

"Setengah jam? Mungkin lebih. Aku tak punya arloji!"

"Yakin, tak ada yang mencurigakan?"

"Tidak! Kan, hasil outopsi negatif?"

Dua wajah polisi yang duduk di hadapku saling bertukar pandang. Nyai Rumi tak ada di ruang tamu. Mata penuh selidik Kades Badri yang duduk di sebelahku, menatap wajahku.

"Yai Jati ada cerita tentang adikku?"

"Rumi? Tidak!"

"Tak ada cerita, mengapa Yai..."

"Kan, pagi itu baru bertemu lagi? Yai Jati cuma bilang, sudah sepuluh hari tak pulang!"

"Abang tahu, kenapa?"

"Gak tahu, dan tak mau tahu!"

"Abang gak heran? Mengapa tak lama selesai akad nikah, Yai Jati langsung pergi dan tak pernah pulang?"

Aku terdiam. Tak perlu kujawab. Kades Badri lebih tahu dariku jawaban untuk pertanyaan itu. Dua pasang mata polisi menunggu reaksi Kades Badri. Pelan suara kades, mengisi ruang tamu.

"Abang masih marah padaku?"

"Hei! Hubungannya apa?"

"Kenapa Abang tak datang, saat Yai dan Rumi menikah?"

"Aku diminta..."

"Siapa? Rumi?"

Aku kembali diam. Sejak dulu Kades Badri tahu. Bagaimana sikap dan perhatian Rumi padaku. Juga tahu, bagaimana Yai Jati begitu cemburu padaku. Dan akupun harus tahu diri, juga harus mengerti. Rumi takkan berdaya menghadapi paksaan Kades Badri. Satu-satunya saudara kandung Nyai Rumi yang tersisa.

"Aku pulang!"

Langkahku tegas, meninggalkan rumah Yai Jati. Tak ada yang menghalangi. Saat duduk di atas motor. Sesaat wajahku tengadah ke langit. Berharap menemukan wajah Yai Jati.


Curup, 18.09.2019

zaldychan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun