Mohon tunggu...
Yus Alvar Saabighoot
Yus Alvar Saabighoot Mohon Tunggu... Dosen

Saya adalah dosen Program Studi Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini (PGPAUD) di Universitas Terbuka (UT). Dengan pengalaman mengajar lebih dari 6 tahun, saya berkomitmen untuk meningkatkan kualitas pendidikan anak usia dini melalui pendekatan inovatif dan berbasis penelitian. Saya juga aktif dalam berbagai kegiatan pengabdian masyarakat dan pelatihan guru.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Surat Maaf di Ujung Sajadah

29 September 2025   09:37 Diperbarui: 29 September 2025   09:37 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Ilustrasi Kakek Nenek Duduk di Tepi Pantai. Sumber : Google

Satu hantu telah pergi. Tapi masih ada yang lain. Siska, mahasiswinya. Mencari jejaknya lebih sulit. Ia sudah tidak bekerja di universitas. Hardiman akhirnya menemukan akun media sosialnya melalui salah seorang dosen muda. Di sana tertulis, Siska kini menjadi kepala sebuah sekolah gratis untuk anak-anak jalanan di pinggiran kota.

Hatinya bergetar melihat foto-foto Siska yang tersenyum tulus di antara anak-anak dekil namun ceria. Ternyata, kata-katanya yang tajam dulu tidak mematahkan gadis itu. Justru mungkin telah membuatnya menjadi baja.

Dengan bantuan Mentari, Hardiman menulis sebuah pesan panjang. Ia tidak menceritakan kegelisahannya, ia hanya ingin meminta maaf.

"...Saya menulis ini karena ada sesuatu yang mengganjal di hati saya selama bertahun-tahun. Dulu, saya mungkin pernah menjadi dosen pembimbing yang terlalu keras dan kurang berempati pada perjuanganmu. Jika ada kata-kata saya yang pernah melukai hatimu, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya, Nak. Melihatmu sekarang menjadi cahaya bagi banyak orang, saya merasa sangat bangga pernah menjadi bagian kecil dari perjalananmu..."

Ia mengirim pesan itu dengan jantung berdebar.

Balasannya datang keesokan paginya.

"...Bapak Hardiman, saya terharu sekali membaca pesan Bapak. Justru saya yang harus berterima kasih. 'Kekerasan' Bapak dulu adalah cambuk yang membuat saya tidak menyerah. Bapak mengajarkan saya standar tertinggi dalam bekerja, dan itu yang saya terapkan sekarang di sekolah ini. Bapak adalah salah satu pahlawan dalam hidup saya. Terima kasih banyak, Pak. Semoga Bapak dan Ibu selalu sehat."

Hardiman menunjukkan pesan itu pada Anisa. Keduanya tak bisa berkata-kata. Anisa memeluk suaminya erat. "Sudah, Pak. Sudah. Semua sudah dimaafkan. Sekarang, maafkan diri Bapak sendiri."

Foto Ilustrasi Kakek Nenek Sedang Duduk Berdua. Sumber : Google
Foto Ilustrasi Kakek Nenek Sedang Duduk Berdua. Sumber : Google

Di pelukan istrinya, Hardiman akhirnya bisa memaafkan dirinya sendiri.

Hari-hari setelahnya terasa lebih ringan. Langit tampak lebih biru, aroma teh melati buatan Anisa terasa lebih wangi, dan tawa Rania terdengar lebih merdu. Ia masih mengantar istrinya ke mana pun Anisa mau pergi---ke pasar, ke pengajian, ke rumah anak-anak mereka. Tapi kini, perjalanannya tidak lagi dibayangi oleh hantu-hantu masa lalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun