Kehadiran Mentari adalah salah satu usahanya untuk menambal rasa 'tidak bermanfaat' setelah pensiun. Ketika semua jabatan telah tanggal, ketika telepon tak lagi berdering untuk meminta pendapat ahlinya, Hardiman merasa hampa. Ia merasa seperti pohon besar yang tak lagi berbuah.
Ia dan Anisa bertemu Mentari di sebuah panti asuhan saat mereka mengantar donasi. Gadis kecil kelas 3 SMA itu memiliki mata yang menyiratkan kecerdasan dan tekad yang luar biasa, namun terhalang oleh ketiadaan biaya. Tanpa pikir panjang, Hardiman dan Anisa memutuskan untuk mengangkatnya sebagai anak, membiayainya hingga ke jenjang tertinggi.
"Bapak tidak perlu melakukan ini. Saya bisa bekerja," kata Mentari saat itu, dengan suara bergetar menahan haru.
Hardiman tersenyum, senyum seorang ayah. "Anggap saja ini investasi akhirat Bapak, Nak. Tugasmu hanya belajar yang rajin dan menjadi orang yang bermanfaat bagi sesama. Itu sudah lebih dari cukup untuk membayar kami."
Melihat Mentari mengenakan toga kebesaran di hari wisudanya adalah salah satu hari paling membahagiakan dalam hidup Hardiman. Di hari itu, ia merasa sisa hidupnya masih memiliki arti. Ia masih bisa menjadi sandaran. Ia masih bisa mengubah takdir seseorang. Saat Mentari bersujud di kakinya dan kaki Anisa sambil terisak, Hardiman merasakan setetes beban di hatinya terangkat. Setidaknya, ada satu kebaikan nyata yang bisa ia persembahkan.
Anak-anak kandungnya pun menjadi sumber kebahagiaan yang tak terkira. Bayu, dengan posisinya di ibu kota, selalu memastikan kebutuhan orang tuanya tercukupi. Gilang, meski jauh di tengah lautan, tak pernah absen menelepon setiap hari, sekadar untuk bertanya, "Bapak dan Ibu sehat?" Mereka adalah bukti bahwa didikan keras yang ia terapkan, yang terkadang membuatnya merasa bersalah, telah membentuk mereka menjadi pribadi yang tangguh dan berbakti.
Namun, kebahagiaan-kebahagiaan itu terkadang terasa seperti oasis di tengah gurun kegelisahannya. Semakin ia mencoba fokus pada hal-hal baik, semakin kuat pula hantu-hantu masa lalunya menariknya kembali.
Suatu sore, saat mengantar Anisa ke pengajian rutinnya, Hardiman menunggu di dalam mobil. Ia membuka kembali kontak teleponnya. Jari-jarinya yang keriput berhenti di satu nama: "Bambang Staf TU". Bambang adalah sahabat terdekat almarhum Pak Bejo. Hatinya berdebar kencang. Haruskah ia menelepon? Apa yang akan ia katakan setelah bertahun-tahun?
Dengan tangan gemetar, ia menekan tombol panggil.
"Halo, Assalamualaikum..." terdengar suara serak di seberang.