"Wa'alaikumsalam. Pak Bambang, ini saya, Hardiman."
Hening sejenak. "Oh, nggih, Prof. Hardiman. Ada apa, Prof? Tumben sekali," jawab Bambang, nadanya terdengar canggung dan penuh hormat. Panggilan 'Prof' itu terasa seperti cambuk bagi Hardiman.
"Jangan panggil Prof, Pak Bambang. Panggil saja Pak Hardiman. Kita kan sudah sama-sama pensiun," katanya sambil mencoba tertawa, namun terdengar hambar. "Begini, Pak Bambang... saya... saya mau tanya kabar keluarga almarhum Pak Bejo."
"Oh, almarhum. Alhamdulillah, anak-anaknya sudah besar semua, Pak. Sudah mandiri. Istrinya sekarang tinggal sama anak perempuannya."
Hardiman menelan ludah. Inilah saatnya. "Pak Bambang... saya ini sering kepikiran. Dulu sekali, saya pernah... pernah membentak almarhum di depan banyak orang. Saya... saya sangat menyesal. Sampai sekarang saya tidak bisa melupakannya. Menurut Bapak, apakah almarhum... memaafkan saya?"
Suaranya pecah di akhir kalimat. Ia, seorang mantan dekan yang disegani, kini terdengar seperti anak kecil yang memohon pengampunan.
Di seberang telepon, Bambang terdiam lama. Hardiman bisa mendengar embusan napasnya.
"Pak Hardiman," kata Bambang akhirnya, suaranya melembut. "Pak Bejo itu orangnya pemaaf. Saya kenal betul beliau. Setelah kejadian itu, beliau memang sempat sedih, tapi beliau pernah bilang ke saya, 'Mungkin Prof. Hardiman sedang banyak tekanan. Kita doakan saja semoga urusan beliau lancar'. Beliau tidak pernah dendam, Pak. Sama sekali tidak."
Air mata yang sejak tadi ditahan Hardiman akhirnya luruh. Membasahi pipinya yang tirus. Sebuah beban seberat gunung serasa terangkat dari pundaknya. "Alhamdulillah... Terima kasih, Pak Bambang. Terima kasih banyak..."
"Sama-sama, Pak. Bapak orang baik. Kami semua tahu itu," tambah Bambang.
Setelah menutup telepon, Hardiman menangis tersedu-sedu di dalam mobilnya yang sepi. Tangisan penyesalan, kelegaan, dan rasa syukur yang meluap-luap.