"Bapak melamun lagi?"
Suara lembut Anisa membuyarkan lamunannya. Wanita yang telah menemaninya selama empat puluh dua tahun itu meletakkan secangkir teh hangat di sebelahnya. Uapnya mengepul, membawa aroma melati yang menenangkan. Hardiman tersenyum tipis.
"Hanya teringat almarhum Mas Rahmat, Bu. Kemarin kan seratus harinya," dalihnya.
Anisa duduk di sampingnya, mengusap punggung suaminya dengan lembut. "Bapak jangan terlalu banyak pikiran. Semua sudah ada takdirnya. Tugas kita sekarang mendoakan mereka dan menjaga kesehatan kita."
Hardiman mengangguk, namun hatinya tak bisa berbohong. Bukan hanya kematian yang ia takutkan. Kematian adalah kepastian. Yang ia takutkan adalah apa yang ia bawa saat menghadap-Nya.
"Bu," panggilnya lirih. "Menurut Ibu... apa Bapak ini dulu orang yang baik?"
Anisa menghentikan usapannya. Ia menatap wajah suaminya yang keriputnya tampak semakin dalam di bawah cahaya lampu. "Kenapa Bapak bertanya seperti itu? Bapak orang terbaik yang pernah Ibu kenal."
"Tapi dulu... waktu Bapak jadi dekan..." Kalimatnya menggantung. Bayangan-bayangan itu kembali berkelebat seperti film usang.
Ia teringat pada Pak Bejo, seorang staf administrasi yang sudah tua. Suatu hari, Pak Bejo melakukan kesalahan kecil dalam pengarsipan surat penting. Hardiman, yang saat itu sedang di bawah tekanan karena persiapan akreditasi, membentaknya di depan staf lain. Ia masih bisa mengingat dengan jelas wajah Pak Bejo yang menunduk, bibirnya bergetar menahan malu. Pak Bejo sudah meninggal lima tahun lalu. Apakah ia pergi dengan membawa luka hati karena hardikan seorang atasan yang arogan? Ya Allah, apakah aku telah menzalimi orang yang lebih lemah dariku?
Lalu ada Siska, mahasiswi bimbingannya yang brilian namun berasal dari keluarga sangat sederhana. Siska beberapa kali terlambat menyerahkan draf skripsinya karena harus bekerja paruh waktu. Hardiman, dengan standarnya yang tinggi, pernah berkata dengan ketus, "Kalau kamu tidak serius, lebih baik cari pembimbing lain saja. Saya tidak punya waktu untuk mahasiswa yang main-main." Ia melihat mata gadis itu berkaca-kaca. Meskipun pada akhirnya Siska lulus dengan nilai memuaskan dan berterima kasih padanya, pertanyaan itu terus menghantui, apakah kata-katanya yang tajam itu telah mematahkan semangatnya, meski hanya sesaat? Apakah ia telah menyakiti hati seorang anak yatim yang sedang berjuang?
Pikiran-pikiran itu seperti hantu. Mereka datang tanpa diundang di keheningan malam, di sela-sela zikirnya, bahkan saat ia sedang tertawa bersama cucunya. Beban jabatan yang dulu ia pikul dengan bangga, kini terasa seperti tumpukan dosa yang belum termaafkan. Rasa takut itu begitu nyata, sebuah ketakutan bahwa di balik citra akademisi terhormat, ia hanyalah seorang pendosa yang lalai.