Â
Babak I: Masa Lalu dalam Binar Mata Mereka
Dingin merayap dari lantai teras, memeluk telapak kakiku yang telanjang. Di hadapanku, sebuah cangkir teh yang sudah mendingin, uapnya tak lagi mengepul, serupa dengan kenangan yang perlahan memudar. Malam ini, rumah ini terasa asing. Bukan, bukan karena orang-orang yang ada di dalamnya. Ini adalah rumah yang sama, dengan dinding kusam yang sama, dan pohon mangga di halaman yang sama, tempat aku dan saudara-saudaraku dulu sering berkejaran. Tapi, di dalam keheningan ini, aku merasa seperti tamu asing di sarangku sendiri.
Mataku terpejam, dan tanpa kusadari, ingatan itu kembali menyeruak. Ingatan tentang sebuah rumah yang hidup. Bukan hanya bangunan, tapi sebuah jiwa. Jiwa yang diisi oleh tawa Mamah yang merdu, suara dering sendok dan piring saat beliau menyiapkan hidangan. Aroma masakan Mamahadalah parfum terbaik di dunia. Itu adalah aroma yang selalu menyambutku pulang, aroma yang seolah berbisik, "Kamu aman, Nak. Kamu sudah sampai di rumah."
Dan di sudut ruang tengah, Bapak akan duduk di kursi kayu favoritnya. Suara beratnya saat melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an adalah melodi paling menenangkan yang pernah ku dengar. Suara itu bukan hanya sekadar bacaan; itu adalah benteng. Doa-doa mereka, yang diucapkan di setiap sujud dan di setiap hembusan napas, terasa seperti sihir.
Aku ingat, saat itu aku menganggap diriku sebagai anak paling beruntung di muka bumi. Apa pun yang ku impikan, seolah-olah semesta bergegas untuk mewujudkannya. Ketika teman-temanku kesulitan mencari pekerjaan, aku mendapatkan panggilan dari perusahaan impian. Nilai-nilaiku selalu bagus, seolah-olah semua pelajaran terasa mudah masuk ke otakku. Aku tidak pernah tahu apa itu arti "berjuang mati-matian," karena segalanya terasa datang begitu saja.
Aku sering meremehkan hal-hal itu. Aku pikir, "Ini adalah takdirku." Aku menganggap keberuntunganku adalah hak, sebuah pemberian alam semesta yang memang ditujukan untukku. Aku tidak pernah melihat tangan-tangan yang tak lelah menengadah, memohon kepada Allah agar jalan anak-anaknya dipermudah. Aku tidak melihat wajah-wajah lelah yang tersembunyi di balik senyum, yang selalu berkata, "Jangan khawatir, Nak. Ada kami di sini."
Aku bahkan ingat, saat aku baru saja gagal bekerja ke Jepang. Aku hancur, dunia terasa runtuh. Aku mengurung diri di kamar, menolak makan. Tapi Mamah... tidak pernah menyerah. Beliau tidak mendobrak pintuku, atau memaksaku keluar. Sebaliknya, beliau hanya meletakkan sepiring nasi hangat di depan pintu kamarku. Malam itu, aku mendengar suara isakan pelan di balik pintu. Mamah menangis, bukan karena aku, tapi karena beliau merasakan sakitku. Dan esok paginya, beliau hanya memelukku erat, dan berkata, "Mamah tidak tahu apa yang membuatmu sakit. Tapi, jangan pernah ragu. Doa mamah selalu bersamamu." Dan entah mengapa, setelah mendengar kalimat itu, lukaku terasa sembuh.
Dan Bapak... Bapak adalah pahlawanku. Saat aku bimbang memilih jurusan kuliah, Bapak hanya menatapku dengan mata teduh. Beliau tidak memaksaku. Beliau hanya berkata, "Pilih apa pun yang membuatmu bahagia, Nak. Bapak dan Mamah akan selalu mendoakanmu." Kalimat  itu, sungguh, lebih berharga dari nasihat paling bijak sekali pun. Aku merasa, di bawah restu mereka, tidak ada yang tidak mungkin.
Aku pikir, hubungan kami sebagai saudara juga akan selamanya utuh. Â Kami sering bertengkar, bahkan hingga saling teriak. Tapi pada akhirnya,mamah dan bapak selalu berhasil menyatukan kami kembali. Di meja makan, kami tertawa dan berbagi cerita, seolah tak ada yang pernah terjadi. Kebersamaan kami adalah sebuah janji, yang ditandai dengan cinta yang tak pernah habis dari orang tua kami.