Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tragis: 11 Tahun Mengabdi Dokter Yuanti Dipecat

22 Mei 2025   11:55 Diperbarui: 22 Mei 2025   11:55 1757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dr Yuanti Yunus Konda| sumber:.msn.com

"Apa Salah Saya? Curhat Pilu Dokter Yuanti Dipecat dari PNS Usai 11 Tahun Mengabdi di Perbatasan RI"

Judul pemberitaan di media online diatas sungguh-sungguh menggugah dan menyetuh hati yang memiliki nilai kemanusiaan yang mendasar. Dan lebih menarik lagi, karena kejadian ini terjadi dalam tubuh pemerintah sendiri yang seharusya tidak terjadi.

Peemecatan seorang karyawan merupakan pilihan terakhir ketika semua pilihan pemutusan hubungan kerja tidak bisa lagi menyesaikan masalah yang sedang dihadapi antara kedua pihak, si pemberi kerja dan si karyawan. Sebab, pemecatan yang dilakukan, bukan saja menghancurkan secara moral si karyawan, tetapi juga sangat bertentangan dengan semangat dan filsafat manajemen sumberdaya manusia. Dimana karyawan itu merupakan aset berharga dalam sebuah perusahaan ataupun organisasi.

Kasus yang dialami oleh dokter Yuanti miris hati dan bahkan tragis. Bayangkan saja, menjadi ASN atau PNS dan bertugas di wilayah perbatasn RI selama 11 tahun kemudian dipecat oleh dinas terkaitnya yang sepertinya sepihak. Kendati si dokter ini telah mengabdi dan berjuang luar biasa untuk tetap eksist dengan penuh pengorbanan, dan nampaknya tidak mendapat perhatian dan apresiasi dari dinas yang mengelololanya.

Berikut adalah pengakuan jujur serta curhat dokter Yunanti:

"Saya sudah 11 tahun mengabdi, bertugas di daerah perbatasan, tapi akhirnya yang saya dapat hanyalah pemecatan. Saya bertanya-tanya, apa salah saya? Apakah pengabdian ini tidak berarti?". "Ketika anak saya baru berusia setahun, saya ditugaskan mendampingi akreditasi Puskesmas dari Mansalong ke Sebatik. Saya tidak menolak. Ketika Covid-19 melanda, saya ikut membantu penanganan meski tempat tugas saya jauh dari kota. Saya lakukan semua dengan ikhlas." 

Sesungguhnya tidak mudah menemukan seorang karyawan yang memiliki semangat juang yang luar biasa seperti dokter ini. Bukan saja untuk melakukan yang terbaik tanpa pamrih, bahkan melebihi apa yang diminta oleh pemberi kerjanya, tetapi juga terus mengembangkan diri dengan usaha sendiri.

"Saya sudah 8 tahun menjadi PNS. Menurut aturan, sudah cukup untuk bisa melanjutkan pendidikan. Tapi saya tidak pernah diberi izin. Akhirnya saya sekolah dengan biaya sendiri. Tapi balasannya? SP1, SP2, SP3, lalu pemecatan. Saya tidak menyangka". "Kalau memang saya dianggap melanggar, kenapa tidak diproses dari awal? Kenapa harus menunggu tiga tahun? Apakah memecat dokter menjadi sebuah prestasi bagi Dinas Kesehatan?" ujarnya dengan nada protes dan mata sembab. 

Menjadi pertanyaan yang mendasar mengapa si karyawan ini tidak dihargai?  Bukankah dia telah menunjukkan kinerja yang bagus serta keinginan yang terus belajar tanpa batas? Mungkinkah ada yang salah dengan si karyawan atau si pemberi kerja yang tidak becus melakukan tugas dan tanggungjawabnya kepada karyawan?

"Saya sekolah bukan untuk meninggalkan tugas. Tapi saya tidak mau berhenti sampai pensiun hanya sebagai dokter umum. Ada syarat umur maksimal bagi dokter yang ikut program pendidikan dokter spesialis (PPDS). Maksimal usia 35 tahun. Kalau memang tidak dibutuhkan di Nunukan, keluarkan saja surat mutasi. Biar saya bisa mengabdi di tempat lain," tuturnya. "Saya tidak ingin mempermalukan daerah ini. Makanya saya tidak pergi ke BKN. Saya lebih memilih menyampaikan suara saya di sini. Terima kasih DPRD telah memberikan saya ruang untuk bicara," ungkapnya Yuanti dengan mata berkaca-kaca.

Apapun alasan yang ada, harusnya pemberi kerja tidak begitu mudah melakukan PHK atau pemecatan tanpa proses yang benar. Yaitu melakukan pemberdayaan, pembinaan dan pengembangan si karyawan baik dari kompetensi kerja yang menjadi tuntutan, tetapi juga dari sisi tata kelola yang sifatnya administratis, prosedural (sop) dan sebagainya.

Bila ini tidak dilakukan dengan benar dan tepat, dapat dipastikan bahwa kesalahan fatal bukan ada pada si karyawan, tetapi pada di pejabat atau wakil pemberi kerja. Dan karenanya, harusnya seluruh hak-hak dari si dokter Yunanti ini harus dipulihkan dengan etika yang baik.

Harus diakui bahwa kasus pemecahan karyawan tanpa proses yang benar merupakan fenomena yang mencerminkan ketidakmampuan melakukan good governance dalam bidang Human Resources Management. Perlu menjadi perhatian utama untuk melakukan penataan kedepan kalau mau ada kemajuan bagi kehidupan yang lebib baik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun