Sifatnya yang tertutup membuat si melankolis sulit mengutarakan rasa kecewanya kepada lingkungannya. Kepada teman, kerabat, atau siapa pun. Sebab, pada dasarnya ia tidak sembarangan dalam membina hubungan dengan orang lain Selain tidak mudah mendapat kenalan baru, ia pun tidak mudah percaya pada orang lain. Akibatnya, ia mengalami depresi.
Bandingkan dengan orang sanguinis yang terbuka dan biasanya dapat mengatasi masalah dengan curhat pada teman-temannya.
Begitu pula dengan orang koleris yang mampu mengatasi masalahnya dengan berusaha melakukan hal yang lebih baik.
Selain itu kemampuan analitis si melankolis yang di atas rata-rata membuat dia cenderung membesar-besarkan masalah (overthinking). Akibatnya,ja memperkirakan masalah yang dihadapi selalu lebih besar daripada kenyataannya. Kemampuan analitisnya itu juga membantunya mengolah hal-hal negatif dalam pikirannya menjadi bermuara pada dirinya (self blaming).Â
Ia cenderung menyalahkan diri sendiri karena tidak dapat memenuhi tuntutannya yang sedemikian tinggi. Ketika sedang mengalami kegagalan, pada umumnya orang melankolis akan cenderung menyalahkan diri sendiri (self blaming).Â
Menurut Kristi Poerwandari, psikolog klinis dari Universitas Indonesia, Pendiri Yayasan Pulih yang banyak membantu memulihkan hidup mereka yang ingin bunuh diri, self blaming jika dibiarkan akan dapat berkembang menjadi suara-suara yang berulang kali menyuruh dirinya untuk bunuh diri.
"Kalau tidak mampu menguasai diri, ia akan bunuh diri," kata Kristi menceritakan pengalamannya menghadapi pasien yang mengalami depresi hebat sehingga nyaris bunuh diri.Â
Tim La Haye, pemerhati masalah temperamen, dalam buku "Spirit Controlled Temperament" (1992), menyebut orang melankolis memiliki sifat yang berpusat pada diri sendiri. Nah, si melankolis mudah mengalami depresi karena ia memiliki sifat itu.Â
Pandangan pesimistis terhadap kehidupan membuat dia takut mengambil keputusan. Ia tidak ingin disalahkan, tetapi di sisi lain sering menyimpan kesalahan. Hal itu akhirnya mempengaruhinya dalam membuat keputusan.Â
Akibatnya, ia sering mengambil keputusan berdasarkan prasangka. Prasangka yang terakumulasi juga membuatnya mudah terkena depresi.Â
"Depresi yang begitu dalam membuatnya gelap mata. Ia pun "terbujuk"Â mengikuti suara dan dalam dirinya, yang mendorongnya untuk bunuh diri," kata Kristi.Â