Dio merasakan keringat bukan lagi butiran, melainkan aliran kecil yang menyusuri pelipis, membasahi kerah seragamnya yang kaku. Udara di kelas padat dan berat, seolah oksigen telah diganti dengan sesuatu yang tua, pengap, dan berbau debu.
Di depan, Pak Budi dengan perut yang membuncit melampaui kewajaran ikat pinggangnya berceramah tentang kejayaan maritim Nusantara. Suaranya monoton, seperti ketukan paku ke peti mati. Setiap ketukan itu mendekatkan Dio dan ketiga temannya-Raffa, Mala, dan Asna-ke giliran presentasi yang belum mereka siapkan.
Tema: Pemberontakan Petani Banten.
Risiko gagal: nilai merah dan remedial panjang di bawah amarah Pak Budi.
Di bawah pohon keres dua hari sebelumnya, rencana nekat disusun.
Sandiwara. Lima langkah.
Nama kodenya: Kesurupan Massal.
Langkah Pertama: Sang Pemicu: Asna.
Langkah Kedua: Sang Penyebar: Mala.
Langkah Ketiga: Sang Pengacau : Raffa.
Langkah Keempat: Sang Saksi :Dio.
Langkah Kelima: Bukti Ritual : boneka kayu dekil, seukuran jantung manusia, yang mereka cabut dari sela akar beringin tua. Boneka itu menyeringai ganjil, berbau tanah kuburan dan kemenyan basi.
Kipas angin berputar malas di langit-langit, memotong udara panas tanpa membawa angin.
Tiga menit lagi.
Dio memberi isyarat. Kedipan cepat.
Asna membalas dengan anggukan kecil, bibirnya menggumamkan mantra yang hanya ia dengar.
"Baik," suara Pak Budi memecah keheningan. "Kelompok selanjutnya: Dio, Raffa, Mala, Asna. Silakan."
Itulah gongnya.
Jeritan Asna muncul dari rintihan, lalu meledak menjadi raungan nyaring, mentah, purba.
"PANAS! DI KEPALAKU ADA API!"
Ia menghantamkan kepalanya ke meja. Sekali. Dua kali. Suaranya tumpul dan mengerikan. Kelas membeku dalam horor.
Mala bangkit. Tubuhnya bergerak patah-patah, seperti wayang dikendalikan oleh dalang mabuk. Ia menyenandungkan lagu dolanan anak-anak dalam bahasa Jawa kuno.
"Dia sudah di sini... Menunggu di sudut... dengan mata merahnya..."
Jeritan menjadi wabah. Beberapa siswi mulai menangis.
Saat itulah Raffa merangkak dari lantai seperti laba-laba. Tatapannya liar, geramannya rendah, dalam, bukan suara manusia.
"DAGING TUA LEBIH GURIH!"
Ia menerjang, mencoba meraih kaki Pak Budi. Kukunya menggores keramik, melengking.
Dio, Sang Saksi, harus menyegel narasinya. Ia berlari ke depan.
"Pak! Bu! Boneka itu! Raffa bawa dari bawah beringin! Sejak itu dia aneh!"
Guru-guru mulai berkerumun. Salah satu dari mereka membuka laci meja Raffa. Di sana terbaring boneka kayu itu, senyumnya seolah melebar dalam kegelapan laci. Dio bersumpah, lubang matanya berkedip.
Asna berhenti menghantamkan kepalanya. Ia menoleh perlahan 180 derajat. Mustahil.
Ia tersenyum. Senyum yang sama dengan milik boneka itu.
Mala mulai tertawa. Tawa berat dan dalam. Suara pria tua dari perut gadis kecil.
Sesuatu telah mengambil alih.
Mereka hanya memanggil badai, tapi kini sedang menungganginya.
Guru agama membaca doa. Ayat-ayat suci tergagap. Tidak ada yang mempan.
Di tengah kekacauan, Dio menyentak Raffa ke sudut.
"Sudah cukup, Raf. Hentikan!"
Raffa menoleh. Matanya tidak kosong justru terlalu jernih. Terlalu sadar.
Ia tersenyum miring.
"Selesai?" katanya. "Ini baru saja dimulai, Arsitek."
Dio membeku.
Arsitek.
Kata itu hanya diketahui mereka berempat. Diucapkan dengan nada mengejek. Dingin.
Itu bukan lagi Raffa.
Mereka tak pernah membahas siapa yang pertama kali melempar ide itu di warung kopi pengap, antara rokok kretek dan kopi hitam, antara kebodohan dan keputusasaan.
Boneka itu mereka ambil begitu saja. Membawanya ke sekolah. Menganggapnya properti sandiwara.
Mereka tidak tahu, mereka sedang menandatangani kontrak. Tanpa membaca syaratnya.
Di ruang UKS yang sesak, Asna menatap langit-langit, mulutnya setengah terbuka.
Mala meringkuk seperti janin.
Raffa menyisir rambutnya berulang-ulang, tersenyum puas.
Seorang kakek kurus datang. Sorot matanya keruh. Tenang.
Ia mendekati Dio terlebih dahulu.
"Kamu yang paling sadar," katanya. "Maka kamu yang paling tersiksa. Karena kamu tahu ini nyata."
Dio tak menjawab.
Kakek itu menumpangkan tangan ke dahi Asna dan Mala. Mereka gemetar, lalu tenang.
Tapi saat ia mendekat ke Raffa, bocah itu menghentikan gerakannya. Matanya menyala menantang.
"Pergilah, orang tua," desisnya. Dua suara. Raffa... dan sesuatu yang lain.
"Rumah ini sudah ada penghuninya."
"Rumah ini pinjaman," balas sang kakek. "Dan waktu sewanya sudah habis."
Lampu berkedip. Padam.
Gelap.
Tawa.
Tiga suara, satu irama: Asna, Mala, dan Raffa. Serempak. Berat. Dalam.
Tawa dari tempat yang tidak memiliki nama.
Saat lampu kembali menyala, kakek itu sudah memegang boneka kayu itu. Warnanya lebih gelap. Seolah berkeringat.
Ketiganya batuk. Sadar. Lelah. Seperti baru kembali dari mimpi panjang dan buruk.
Mereka berhasil menghindari presentasi.
Sekolah diliburkan tiga hari.
Tapi saat Dio berjalan pulang menyusuri lorong sekolah yang lengang, ia tahu-ia tidak sendirian.
Bayangan tampak lebih panjang.
Angin terdengar seperti bisikan namanya.
Dan bau itu kemenyan, tanah basah masih menempel di kulitnya.
Ia tahu: bagi tamu yang mereka undang, ini baru pembukaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI