Jeritan Asna muncul dari rintihan, lalu meledak menjadi raungan nyaring, mentah, purba.
"PANAS! DI KEPALAKU ADA API!"
Ia menghantamkan kepalanya ke meja. Sekali. Dua kali. Suaranya tumpul dan mengerikan. Kelas membeku dalam horor.
Mala bangkit. Tubuhnya bergerak patah-patah, seperti wayang dikendalikan oleh dalang mabuk. Ia menyenandungkan lagu dolanan anak-anak dalam bahasa Jawa kuno.
"Dia sudah di sini... Menunggu di sudut... dengan mata merahnya..."
Jeritan menjadi wabah. Beberapa siswi mulai menangis.
Saat itulah Raffa merangkak dari lantai seperti laba-laba. Tatapannya liar, geramannya rendah, dalam, bukan suara manusia.
"DAGING TUA LEBIH GURIH!"
Ia menerjang, mencoba meraih kaki Pak Budi. Kukunya menggores keramik, melengking.
Dio, Sang Saksi, harus menyegel narasinya. Ia berlari ke depan.
"Pak! Bu! Boneka itu! Raffa bawa dari bawah beringin! Sejak itu dia aneh!"
Guru-guru mulai berkerumun. Salah satu dari mereka membuka laci meja Raffa. Di sana terbaring boneka kayu itu, senyumnya seolah melebar dalam kegelapan laci. Dio bersumpah, lubang matanya berkedip.