Asna berhenti menghantamkan kepalanya. Ia menoleh perlahan 180 derajat. Mustahil.
Ia tersenyum. Senyum yang sama dengan milik boneka itu.
Mala mulai tertawa. Tawa berat dan dalam. Suara pria tua dari perut gadis kecil.
Sesuatu telah mengambil alih.
Mereka hanya memanggil badai, tapi kini sedang menungganginya.
Guru agama membaca doa. Ayat-ayat suci tergagap. Tidak ada yang mempan.
Di tengah kekacauan, Dio menyentak Raffa ke sudut.
"Sudah cukup, Raf. Hentikan!"
Raffa menoleh. Matanya tidak kosong justru terlalu jernih. Terlalu sadar.
Ia tersenyum miring.
"Selesai?" katanya. "Ini baru saja dimulai, Arsitek."
Dio membeku.
Arsitek.
Kata itu hanya diketahui mereka berempat. Diucapkan dengan nada mengejek. Dingin.
Itu bukan lagi Raffa.
Mereka tak pernah membahas siapa yang pertama kali melempar ide itu di warung kopi pengap, antara rokok kretek dan kopi hitam, antara kebodohan dan keputusasaan.
Boneka itu mereka ambil begitu saja. Membawanya ke sekolah. Menganggapnya properti sandiwara.