Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Tangan Dingin Zulhas dan 80 Koperasi Desa Menuju 19 Juli

13 Juli 2025   17:36 Diperbarui: 14 Juli 2025   14:08 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menko Pangan Zulkifli Hasan  dalam peresmian Kopdes Merah Putih Bumisari, Natar, Lampung Selatan  (Sumber: Diskominfotik Lampung)

Di tengah geliat kota yang makin sibuk dengan aplikasi pinjaman dan e-commerce, ada sekelompok orang yang justru memilih memulai dari gudang tua.

Dari papan kayu yang digergaji ulang, dari timbangan analog yang entah sudah berapa kali jatuh, dan dari niat lama yang pernah dikubur: koperasi.

Tanggal 11 Juli 2025, Zulkifli Hasan yang kini menjabat sebagai Ketua Satgas Nasional Koperasi Desa Merah Putih, mengumumkan hal yang mengejutkan bagi sebagian kalangan ibu kota. Tapi menjadi harapan baru bagi desa-desa yang telah lama kehilangan peran ekonominya.

"Sudah ada 80 koperasi percontohan yang siap. Lengkap. Akan kita launching 19 Juli ini, oleh Presiden Prabowo sendiri," kata Zulhas, di hadapan para jurnalis dan kepala dinas yang hadir di pelataran Balai Pelatihan Koperasi di Cikini.

Kalimat itu ringan. Tapi ia seperti gemuruh kecil yang datang dari dalam tanah. Ia akan mengguncang ekosistem lama yang telah terlalu lama menyimpan ketimpangan.

Apa arti "koperasi percontohan"? Bagi banyak orang yang tidak pernah melihat dari dekat, itu hanya etalase. Tapi bagi petani jagung di Dompu, atau peternak ayam di Brebes, koperasi yang benar-benar jalan bisa jadi perbedaan antara hidup dengan utang dan hidup dengan harga yang adil.

Di desa, koperasi bukan hanya tempat menaruh hasil panen. Ia bisa menjadi penyelamat. Tapi itu di masa lalu. Kita tahu, koperasi di Indonesia sempat mati suri.

Ada yang tinggal papan nama. Ada yang hanya jadi alat menyalurkan bantuan politik. Ada pula yang hidup tapi hanya di atas kertas.

Zulhas sepertinya paham luka itu. Maka ia tak menjual janji. Ia mulai dengan angka: 80 koperasi, benar-benar berdiri, dengan sistem logistik, administrasi, dan akses pinjaman aktif melalui bank Himbara.

Dan yang paling penting: koperasi itu punya gudang. Gudang, benda sederhana yang sering dilupakan.

Tapi di situlah semua kekuatan ekonomi rakyat berpusat. Kita lupa bahwa dalam sistem logistik pangan, siapa yang punya gudang, dia yang mengatur harga.

Selama ini, tengkulak punya gudang. Pedagang besar punya gudang. Bahkan mafia pupuk pun punya. Tapi petani?

Mereka hanya punya terpal dan pinjaman musiman. Maka koperasi yang punya gudang artinya desa yang punya kontrol. Ia bisa menahan dulu barang kalau harga belum baik.

Ia bisa menyuplai ke warung tetangga, bukan menjual jauh ke kota lalu dibeli kembali dengan harga berlipat.

Zulkifli Hasan menyebutkan bahwa gudang-gudang itu bisa menggunakan balai desa, sekolah kosong, atau kantor kelurahan yang tidak aktif.

"Bangunannya tidak perlu baru. Yang penting isinya hidup," katanya. Kalimat yang sederhana, tapi menampar cara berpikir pembangunan selama ini yang terlalu fokus pada proyek beton, bukan pada fungsi sosial.

Saya membayangkan, seperti inilah langkah pertama diambil di negara-negara Skandinavia yang koperasinya maju. Atau di Jepang pascaperang, saat koperasi menjadi tulang punggung distribusi pangan dan benih pertanian.

Koperasi, dalam bentuknya yang paling murni, adalah manusia yang bersatu dalam produksi dan distribusi. Seperti dikatakan oleh Anthony Giddens dalam bukunya The Third Way (1998, hlm. 74):

"Koperasi adalah titik temu antara ekonomi dan etika; antara efisiensi pasar dan solidaritas sosial."

Kalimat itu bukan kutipan seminar. Ia benar-benar terasa di desa. Di mana warung tetangga tidak menjual Indomie dari distributor, tapi dari koperasi.

Di mana gabah petani tidak langsung diambil tengkulak malam-malam, tapi ditimbang dulu di gudang koperasi pagi harinya.

Tentu saja, skeptisisme ada. Apakah ini hanya proyek politik jelang Pilkada? Apakah koperasi ini nanti akan ditinggal begitu saja setelah peresmian dan pidato Prabowo selesai?

Zulkifli Hasan menjawab itu dengan logistik. Ia menyebut bahwa Koperasi Desa Merah Putih tidak hanya didampingi oleh Kemendag, tapi juga oleh Kementerian Desa, Kementerian Koperasi, dan didukung oleh bank-bank besar milik negara: Mandiri, BRI, BNI, dan BTN.

"Semuanya sudah siap. Mereka yang punya rekening, koperasi bisa akses langsung. Jadi ini bukan koperasi yang ditinggal begitu saja," katanya.

Dan memang, dalam dokumen internal Satgas, saya melihat bahwa sistem monitoring koperasi ini dibuat dengan dashboard digital yang bisa diakses Presiden.

Semua koperasi yang masuk dalam 80 percontohan akan memiliki nomor ID, sistem pelaporan transaksi harian, dan bisa memantau stok barang seperti di minimarket modern.

Dalam ilmu ekonomi pembangunan, ini bisa dikategorikan sebagai "state-enabled cooperative logistics": koperasi yang diaktifkan oleh negara, tapi dijalankan oleh masyarakat sendiri.

Ini sejalan dengan teori Joseph E. Stiglitz dalam Making Globalization Work (2006, hlm. 115), yang menyatakan:

"Ketika negara hanya menjadi fasilitator, bukan pelaku pasar, maka efisiensi dan keadilan bisa berjalan bersama."

Koperasi ini tidak dimaksudkan untuk bersaing dengan pasar modern. Tapi menjadi pelengkap.

Ia hadir di ruang kosong yang selama ini tidak tersentuh: distribusi pupuk di pelosok, logistik pangan antar kampung, dan penyerapan hasil tani skala mikro.

Dan yang paling penting, koperasi ini akan memberi daya tawar baru bagi desa.

Zulhas mengatakan bahwa koperasi-koperasi ini sudah bisa mengakses kredit sejak 1 Juli 2025. "Bahkan minggu lalu, koperasi di Serang sudah cair Rp 200 juta dari BRI," ujarnya sambil menunjukkan video WhatsApp yang berisi ucapan syukur dari ketua koperasi.

Saya menonton ulang video itu. Ketua koperasi, namanya Paidi, mengucapkan terima kasih kepada Menteri Zulhas karena koperasi desanya akhirnya bisa meminjam ke bank tanpa agunan pribadi.

"Selama ini kalau pinjam harus pakai sertifikat saya sendiri. Sekarang cukup atas nama koperasi," katanya. Kalimat itu mungkin biasa di kota. Tapi di desa, itu revolusioner.

Prabowo dijadwalkan hadir pada 19 Juli. Tempatnya masih dirahasiakan.

Tapi informasi dari staf Satgas menyebutkan bahwa kemungkinan besar akan dilaksanakan di daerah dengan kombinasi: gudang siap, koperasi aktif, dan jejaring petani sudah berjalan.

Beberapa menyebut Boyolali, ada juga yang menyebut Sumedang. Tapi tempat bukan soal. Yang penting adalah semangatnya.

Saya membayangkan Prabowo datang dengan rompi cokelat, berdiri di depan karung-karung gabah yang sudah diberi barcode.

Ia akan menandatangani prasasti, lalu mengisi buku stok logistik. Setelah itu, mungkin beliau akan berpidato singkat, seperti biasanya.

Yang mungkin akan ia katakan adalah bahwa "pangan adalah senjata strategis negara." Dan koperasi adalah salah satu bentuk pertahanan non-militer kita.

Dalam berbagai dokumen strategis pertahanan pangan, termasuk milik FAO dan World Bank, disebutkan bahwa ketahanan pangan tidak cukup dengan produksi.

Tapi juga distribusi dan penyimpanan. Dan koperasi inilah titik simpul distribusi yang selama ini hilang.

Saya pernah bertanya kepada seorang ibu di desa di Pandeglang. Namanya Bu Nani. Ia menjual beras ke warung dengan harga Rp 9.000 per kilo, lalu membelinya kembali dalam bentuk nasi uduk di sekolah anaknya dengan harga Rp 6.000 per bungkus (sekitar 150 gram nasi).

Ia tidak pernah melihat koperasi selama lima tahun terakhir. Yang ia lihat adalah kartu BPNT, dan sembako yang dikirim bulan sekali.

Tapi saat saya mengabari bahwa akan ada koperasi baru, dan dia bisa menyimpan gabah di sana sambil mendapat uang muka, matanya berbinar.

"Nanti uangnya langsung ke HP saya?" tanyanya.

Saya bilang, bukan HP ibu. Tapi ke rekening koperasi. Dan ibu anggota koperasi.

Ia tampak bingung. Tapi juga penuh harapan.

Itu yang tidak bisa ditulis dalam proposal proyek.

Bahwa koperasi bukan hanya soal logistik, tapi soal psikologi sosial. Soal percaya. Soal "kita".

Dalam teori sosiologi ekonomi, James Coleman menyebutnya sebagai "social embeddedness": koperasi hanya bisa berjalan jika relasi sosial dan kepercayaan antarpihak terbangun (Coleman, Foundations of Social Theory, 1990, hlm. 302).

Zulkifli Hasan dan timnya tampaknya mengerti itu. Maka selain membentuk koperasi, mereka juga menyiapkan pelatihan SDM lokal, pendampingan dari BPSDM Kemendesa, dan kurikulum keuangan dasar dari LPDB.


Apakah akan sukses?

Saya tak bisa menjawab. Tapi saya tahu satu hal: selama ini, kita selalu gagal karena tidak pernah benar-benar mulai.

Kita terlalu lama membicarakan koperasi di seminar. Terlalu banyak Rapat Koordinasi Nasional yang membahas definisi koperasi yang "ideal". Tapi saat gudang-gudang kosong, siapa yang peduli?

Sekarang, 80 gudang itu tidak kosong lagi. Mereka sudah punya rak, punya timbangan, punya sistem pencatatan. Dan mereka punya janji.

Janji bahwa negara masih percaya pada rakyat kecil untuk mengurus pangannya sendiri.

Mungkin nanti sejarah akan mencatat bahwa koperasi Merah Putih hanyalah satu fase pendek dari kebijakan Prabowo. Tapi bagi saya, ini bukan soal jangka panjang atau pendek. Ini soal keberanian memulai.

Dan seperti kata Amartya Sen: "Freedom is the capability to act, not just the right to speak."

Koperasi yang hidup, yang punya uang dan punya gudang, adalah kebebasan yang paling nyata bagi desa. Untuk menolak harga semena-mena. Untuk mengatur pasokannya sendiri. Untuk tidak selalu tergantung pada kota.

Maka pada tanggal 19 Juli nanti, jangan hanya melihat Presiden. Lihat juga rak-rak kayu itu. Lihat terpal yang bersih. Lihat cat baru di dinding koperasi. Lihat daftar harga yang ditulis dengan spidol.

Dan dengarkan suara yang kembali terdengar di desa: suara koperasi.

Suara yang selama ini hilang. Tapi kini datang lagi. Bukan sebagai nostalgia. Tapi sebagai masa depan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun