Apakah akan sukses?
Saya tak bisa menjawab. Tapi saya tahu satu hal: selama ini, kita selalu gagal karena tidak pernah benar-benar mulai.
Kita terlalu lama membicarakan koperasi di seminar. Terlalu banyak Rapat Koordinasi Nasional yang membahas definisi koperasi yang "ideal". Tapi saat gudang-gudang kosong, siapa yang peduli?
Sekarang, 80 gudang itu tidak kosong lagi. Mereka sudah punya rak, punya timbangan, punya sistem pencatatan. Dan mereka punya janji.
Janji bahwa negara masih percaya pada rakyat kecil untuk mengurus pangannya sendiri.
Mungkin nanti sejarah akan mencatat bahwa koperasi Merah Putih hanyalah satu fase pendek dari kebijakan Prabowo. Tapi bagi saya, ini bukan soal jangka panjang atau pendek. Ini soal keberanian memulai.
Dan seperti kata Amartya Sen: "Freedom is the capability to act, not just the right to speak."
Koperasi yang hidup, yang punya uang dan punya gudang, adalah kebebasan yang paling nyata bagi desa. Untuk menolak harga semena-mena. Untuk mengatur pasokannya sendiri. Untuk tidak selalu tergantung pada kota.
Maka pada tanggal 19 Juli nanti, jangan hanya melihat Presiden. Lihat juga rak-rak kayu itu. Lihat terpal yang bersih. Lihat cat baru di dinding koperasi. Lihat daftar harga yang ditulis dengan spidol.
Dan dengarkan suara yang kembali terdengar di desa: suara koperasi.
Suara yang selama ini hilang. Tapi kini datang lagi. Bukan sebagai nostalgia. Tapi sebagai masa depan.