Tapi di situlah semua kekuatan ekonomi rakyat berpusat. Kita lupa bahwa dalam sistem logistik pangan, siapa yang punya gudang, dia yang mengatur harga.
Selama ini, tengkulak punya gudang. Pedagang besar punya gudang. Bahkan mafia pupuk pun punya. Tapi petani?
Mereka hanya punya terpal dan pinjaman musiman. Maka koperasi yang punya gudang artinya desa yang punya kontrol. Ia bisa menahan dulu barang kalau harga belum baik.
Ia bisa menyuplai ke warung tetangga, bukan menjual jauh ke kota lalu dibeli kembali dengan harga berlipat.
Zulkifli Hasan menyebutkan bahwa gudang-gudang itu bisa menggunakan balai desa, sekolah kosong, atau kantor kelurahan yang tidak aktif.
"Bangunannya tidak perlu baru. Yang penting isinya hidup," katanya. Kalimat yang sederhana, tapi menampar cara berpikir pembangunan selama ini yang terlalu fokus pada proyek beton, bukan pada fungsi sosial.
Saya membayangkan, seperti inilah langkah pertama diambil di negara-negara Skandinavia yang koperasinya maju. Atau di Jepang pascaperang, saat koperasi menjadi tulang punggung distribusi pangan dan benih pertanian.
Koperasi, dalam bentuknya yang paling murni, adalah manusia yang bersatu dalam produksi dan distribusi. Seperti dikatakan oleh Anthony Giddens dalam bukunya The Third Way (1998, hlm. 74):
"Koperasi adalah titik temu antara ekonomi dan etika; antara efisiensi pasar dan solidaritas sosial."
Kalimat itu bukan kutipan seminar. Ia benar-benar terasa di desa. Di mana warung tetangga tidak menjual Indomie dari distributor, tapi dari koperasi.
Di mana gabah petani tidak langsung diambil tengkulak malam-malam, tapi ditimbang dulu di gudang koperasi pagi harinya.