Jawa Barat itu luas: 35.377 km. Jumlah penduduknya 49,9 juta jiwa. Artinya, satu dari lima warga Indonesia ada di provinsi ini.
Lalu ada 200-an tambang galian C ilegal tersebar di 17 kabupaten/kota. (Data: ESDM Jabar, 2024)
Maka wajar jika publik bertanya: apakah cukup seorang gubernur hanya membuat konten sambil menyapa warga satu-satu, tanpa membenahi sistem birokrasi teknokratiknya?
Bisa kah tambang-tambang itu diawasi hanya dengan cara ngobrol dari pinggir jalan? Kita masuk ke teori klasik.
Max Weber, bapaknya teori birokrasi modern, sudah menjelaskan jauh-jauh hari bahwa birokrasi adalah sistem yang rasional, hirarkis, dan berbasis aturan tertulis. Tujuannya: efisiensi dan prediktabilitas.
"Birokrasi adalah mesin kekuasaan yang paling efisien sepanjang sejarah umat manusia." (Weber, "Economy and Society", 1922/1978, hlm. 223)
Tapi Weber juga mengingatkan bahayanya: birokrasi akan gagal kalau pemimpinnya justru menggantikan sistem dengan personalisasi kekuasaan.
Maka, jika seorang gubernur lebih sibuk membangun citra pribadi ketimbang sistem, maka sistem itu akan mandek.
Herbert Simon, peraih Nobel Ekonomi 1978, dalam Administrative Behavior (1947), menegaskan: birokrasi bukan sekadar kumpulan pegawai.
Tapi jaringan keputusan yang sistematis, berbasis data, dan rasional. Kalau pemimpin tidak bicara dengan angka, maka ia bicara dengan angan.
Dan inilah yang harus disadari: Jawa Barat tidak bisa dikendalikan dengan jumlah followers. Tapi dengan jumlah inspektur tambang yang memadai.