"Kepatuhan pajak bukan ditentukan oleh tarif atau jumlah nominal. Tapi oleh persepsi wajib pajak bahwa sistem ini adil dan negara layak dipercaya." (James & Alley, 2002, hlm. 31)
Dengan kata lain, substansi pajak adalah tentang legitimasi. Ketika warga percaya sistem bekerja adil, mereka membayar dengan kesadaran.
Bukan karena takut, bukan karena terpaksa. Tetapi karena mereka merasa bagian dari negara.
Debat KDM tadi justru menyingkap apa yang hilang dari birokrasi kita: pemahaman bahwa pajak adalah kontrak sosial. Negara tidak boleh hanya menagih, tapi juga mesti membuktikan dirinya layak dipercaya.
Tapi kita memang hidup di zaman yang aneh. Di mana yang benar adalah yang viral. Yang logis kalah oleh yang lucu.
Zeynep Tufekci, profesor dari Columbia University dalam Twitter and Tear Gas (2017), sudah mengingatkan:
"Di media sosial, yang dilihat orang bukanlah apa yang benar, tapi apa yang menyentuh emosi." (Tufekci, 2017, hlm. 45)
Debat KDM dengan si akang itu, mungkin viral. Tapi substansi yang benar justru diucapkan si akang: bahwa dirinya pembayar pajak. Dan warga seperti dia-lah yang mengisi kantong fiskal Jawa Barat.
Dari uang merekalah gaji KDM dibayar. Dari usaha mereka-lah APBD disusun, program disalurkan, jalan dibeton, dan insentif ASN dicairkan.
Jadi kalau ada usaha warga yang berdampak pada lingkungan, bukan warganya yang harus dihakimi duluan, tapi sistem birokrasi yang gagal mengatur.
Kita sedang bicara sistem. Bukan hanya soal akhlak warga. Mari buka datanya.