Mohon tunggu...
Karimatus Sahrozat
Karimatus Sahrozat Mohon Tunggu... Editor - Writer, Editor

Smile. It will bring you luck.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Maye

9 November 2020   16:59 Diperbarui: 11 November 2020   18:11 801
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: bustle.com)

Perkenalkan. Aku Maye. Perempuan. Dan aku adalah si "Anak 2" yang pernah diceritakan oleh seorang penulis lepas dalam cerpen Kompasiana-nya yang berjudul "Puji". Aku tidak pernah bilang kepadanya, tapi kalau ditanya, aku tidak terlalu suka dengan caranya melukiskan aku.

Di cerita itu, rasa-rasanya dia sengaja mendeskripsikan keluarbiasaan Mama supaya aku terlihat seperti perempuan naif, seperti malaikat yang tidak sengaja mewujud di dunia. Di sana, aku tiba-tiba saja digambarkan sebagai sosok yang dengan begitu tulusnya mencintai dan mengagumi Mama---kalau tertarik, silakan baca ceritanya di sini.

Padahal, aku tidak demikian. Memang tidak banyak yang tahu, tapi bagiku, tidak pernah mudah jadi anak kedua, tidak pernah mudah jadi anak yang dianggap serba bisa, tidak pernah mudah menjadi aku. Dan ini adalah rahasia yang tidak ingin kusimpan lagi sendirian: aku tidak selalu bisa mencintai Mama.

"Mama mau ke mana?" Mama tiba-tiba saja muncul dengan berpakaian rapi.
"Mau jemput adikmu. Nanti sekalian mau ke rumah mbakmu,"
"Mama nginap?"
"Iya. Kan mbakmu lagi sakit,"
"Katanya demam biasa, Ma,"
"Memang demam biasa bukan sakit? Mama mungkin nginap 2 hari di sana,"
"Ya sudah, Ma. Hati-hati di jalan,"

Di halaman rumah, kulihat Mama kesulitan menyalakan motor. Aku ikut keluar, membantu. Mama tersenyum sebentar begitu aku bisa dengan mudah menyalakannya.

Setelah bilang kalau aku selalu bisa diandalkan, Mama berlalu. Hendak menjemput anak ketiganya di sekolah. Lantas setelahnya, hendak menginap di rumah anak pertamanya yang sedang demam.

Mama pasti lupa. Kemarin, Mama berjanji akan menemaniku ke pasar pagi-pagi untuk membeli kain-kain bahan jahitan yang akan kubawa ke Jakarta minggu depan. Waktu kubilang tumben dan kutanya kenapa, Mama tertawa sambil bilang ingin jadi penjahit juga dan menyaingiku suatu hari nanti.

Aku sudah besar sekarang.

Dulu, detail-detail kecil kejadian begitu bisa cepat sekali membuatku merasa kecil sekaligus dikecilkan, bahkan pernah juga membuatku menangis sampai sesenggukan. Apalagi waktu tahun lalu Mama batal datang ke acara pembukaan butikku karena mengurus adikku yang bermasalah di sekolahnya. Aku akhirnya uring-uringan seharian.

Sekarang, entah karena memang sudah dewasa atau cuma karena sudah terbiasa, kejadian begitu tidak lagi mengganjal di hati.

Teman-temanku sering bertanya kenapa aku suka sekali melakukan semua hal sendiri. Percaya atau tidak, pacarku pernah bilang, dia merasa aku terlalu mandiri untuk dibersamai. Kami pernah hampir putus gara-gara itu.

Padahal, bukannya aku suka jadi begitu. Aku cuma tidak tahu bagaimana caranya mengecilkan ego untuk minta dibantu. Aku tidak tahu bagaimana caranya membagi beban dengan orang yang kusayang.

...

"Me, awas ya, jangan tulis yang macam-macam!"

Astaga, aku hampir lupa kalau aku sedang menulis cerita di blog orang lain. Dia penulis lepas yang kusebutkan di atas tadi. Yang bulan lalu meminta izin untuk menceritakan sudut pandanganya tentang aku dalam cerita "Puji"-nya.

"Biarin sih, kamu kan sudah janji: kamu enggak akan baca apa pun yang aku tulis di akunmu hari ini."
"Pokoknya awas saja ya kalau sampai aneh-aneh!"

Dia masuk ke kamarku, mungkin mau melanjutkan membaca buku.

Namanya Karimatus Sahrozat. Perempuan. Beberapa orang memanggilnya Karima, beberapa yang lain memanggilnya Sahro, ada juga yang memanggilnya Zahro, dan ada sedikit yang memanggilnya Za---tapi aku tahu, ini adalah panggilan favoritnya.

Kami berteman sejak kecil, sejak masih suka berlarian di pematang sawah sambil mengejar layang-layang putus milik orang lain. Kami jadi jarang bertemu sejak aku kuliah dan bekerja hingga akhirnya memutuskan untuk membuka butik di Jakarta.

Anehnya, kami bisa langsung akrab seperti semula begitu berjumpa. Ada banyak hal yang orang-orang suka dari dia. Tapi kalau aku, cuma ada satu hal yang kusuka darinya. Nanti, kapan-kapan, kalau kalian tertarik dan kalau dia mengizinkan, akan kutuliskan cerita menarik tentang dia yang tidak pernah diketahui dunia.

"Me, sekarang lagi nulis apa?" dia kembali ke ruang tengah tempat aku menulis, bertanya lagi. Kali ini dengan novel Rahvayana karya Sujiwo Tejo di tangannya.
"Nulis percakapan kita,"
"Me! Jangan ngaco, ah! Jangan bikin cerita yang enggak jelas!"

Dia manyun. Mungkin khawatir kalau-kalau aku mengotori akunnya ini. Padahal kalau kulihat-lihat, kebanyakan ceritanya masih menggantung di jalan.

Lihat saja cerita berjudul "Heaven" yang dibiarkan menggantung tanpa ujung. Seharusnya dia menulis kelanjutan cerita itu minggu ini, tapi katanya sedang tidak punya ide.

"Awas kalau aneh-aneh, ya!" katanya, entah sudah keberapa kali mengingatkan. Aku tertawa. Teringat betapa sulitnya membuat dia mau mengizinkan aku menulis di akunnya dan membuat dia berjanji tidak akan melihat tulisan ini sampai kapan pun.

"Enggak aneh. Percaya deh, orang enggak akan tahu kalau ini bukan tulisan kamu. Kubuat mirip,"
"Memangnya kamu bisa nulis?"
"Loh, di cerita 'Puji' saja aku jadi penulis novel,"
"Itu fiksi, Maye. Kamu yang di sini kan nyata, mana bisa nulis beginian kamu?"
"Bisa!"
"O iya, Mama ke mana?" dia bertanya lagi. Kali ini mengingatkan aku pada inti cerita ini.
"Jempuk Adik, terus katanya langsung nginep di rumah Mbak,"
"Terus kamu?"
"Aku kenapa?"
"Besok katanya mau belanja kain. Sendirian? Aku enggak bisa temenin loh ya besok,"
"Ya sendiri. Dari dulu juga biasa sendiri,"
"Me, jujur deh, kamu enggak pernah benci sama Mama? Sama Bapak? Sama Mbak? Sama Adik?"
"Memangnya kenapa?"
"Ya. Ya. Salah memang aku tanya begitu sama kamu. Malaikat kayak kamu mana pernah benci orang?"
"Pernah,"
"Kapan? Benci siapa?"
"Sekarang. Benci sama kamu,"

Dia tertawa, lalu masuk kembali ke kamarku.

Dia pasti tidak menyangka, aku benar-benar membencinya saat dia bilang bahwa aku adalah malaikat. Aku membencinya setiap kali dia memujiku. Sebab setiap pujian itu membuatku merasa jadi orang munafik. Dan aku benci orang munafik.

Sekali lagi, perkenalkan. Aku Maye. Perempuan. Orang-orang bilang, aku seperti malaikat. Tapi sebenarnya, aku cuma si penakut yang tidak pernah menunjukkan sisi buruknya kepada dunia.

...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun