Mohon tunggu...
Yakobus Sila
Yakobus Sila Mohon Tunggu... Human Resources - Pekerja Mandiri

Penulis Buku "Superioritas Hukum VS Moralitas Aparat Penegak Hukum" dan Buku "Hermeneutika Bahasa Menurut Hans Georg-Gadamar. Buku bisa dipesan lewat WA: 082153844382. Terima kasih

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Superioritas Hukum Versus Moralitas Aparat Penegak Hukum

27 Maret 2019   16:52 Diperbarui: 27 Maret 2019   18:50 3872
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Rawls mendefinisikan pribadi atau agen moral sebagai "seorang yang mampu ambil bagian, atau yang dapat memainkan peran, dalam kehidupan sosial, dan karenanya melaksanakan dan menghormati berbagai hak dan kewajibannya."(John Rawls dalam Feliks Baghi (editor), 2009: 58). Atau dengan kata lain, pribadi sebagai agen moral adalah orang yang bisa menjadi warga negara atau anggota masyarakat biasa dan mampu bekerja sama secara penuh selama hidupnya. Menurut Rawls, pribadi atau agen moral secara mendasar ditandai oleh dua kemampuan moral yaitu kemampuan untuk mencitrakan keadilan dan memahami keadilan. Kemampuan untuk mencitrakan keadilan adalah "kesanggupan untuk memahami, menerapkan dan bertindak seturut gagasan publik tentang keadilan yang mencirikan syarat-syarat yang adil bagi kerja sama sosial." (John Rawls dalam Feliks Baghi (editor), 2009:59). Kemampuan ini juga mengungkapkan kesediaan untuk memperlakukan sesama seturut syarat-syarat yang dapat mereka sokong secara publik. Sedangkan kemampuan untuk memahami kebaikan adalah "kesanggupan untuk membentuk, merevisi serta secara rasional mengikhtiarkan gagasan tentang keuntungan atau kebaikan rasional seseorang" (John Rawls dalam Feliks Baghi (editor), 2009:60). Kedua kemampuan moral ini pada dasarnya menguatkan kedudukan setiap individu sebagai agen moral yang rasional, bebas dan sama. Kemampuan moral ini memungkinkan setiap agen atau pribadi untuk bertindak bukan hanya sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan tetapi juga secara rasional dan otonom menetapkan cara-cara dan tujuan-tujuan yang berguna bagi dirinya. Di sini tampak jelas bahwa ada pengakuan terhadap kebebasan dan kesamaan kedudukan sebagai nilai essensial yang harus dipelihara dan dilindungi.

Kedua kemampuan ini disebut juga sebagai pengaturan interese tertinggi (Andre Ata Ujan, 2001: 37-38). Maksudnya, keduanya berfungsi sebagai kekuatan regulatif yang paling utama dalam pengambilan keputusan moral. Kedua kemampuan moral ini berperan memotivasi tindakan atau tingkah laku manusia serta menggerakannya demi perwujudan kemampuan-kemampuan itu sendiri. Itu berarti, kemampuan ini tidak saja dilihat sebagai motivasi tetapi juga sebagai nilai dalam dirinya sendiri yang pantas dikejar dan direalisasikan.

Manusia sebagai agen yang rasional, bebas dan setara merupakan pribadi moral yang berkembang. (Andre Ata Ujan, 2001:39). Artinya, setiap orang dengan kemampuan moralnya mampu memiliki suatu konsep khusus mengenai yang baik. Pengakuan bahwa setiap individu memiliki konsep khusus mengenai yang  baik, dengan sendirinya memperlihatkan bahwa di dalam masyarakat ada dua kepentingan moral pokok yang tidak boleh diabaikan. Di satu pihak, ada kepentingan untuk memperjuangkan sesuatu yang secara umum dianggap baik dan adil, dan di pihak lain, ada kepentingan untuk melindungi dan menjamin pelaksanaan konsep yang baik yang dimiliki oleh masing-masing individu.

Keadilan sebagai fairness bertumpu pada kedua kemampuan ini karena keberadaan keduanya merupakan pengalaman umum yang dimiliki oleh segenap anggota masyarakat. Dengan kata lain, kepentingan individu dan kepentingan bersama tidak harus dilihat sebagai dua hal yang bertolak belakang dan saling menyingkirkan tetapi sebaliknya harus mendapat tempat secara proporsional.

Menurut Rawls, suatu prosedur perumusan konsep keadilan hanya mampu menjamin lahirnya prinsip-prinsip keadilan apabila prosedur itu ditandai dan disemangati oleh konsep yang tepat mengenai agen moral. Konsep moral yang tepat dan bertanggung jawab tidak bersumber pada sesuatu yang eksternal atau yang datang dari luar diri manusia tetapi yang secara fundamen ada secara inheren dalam diri manusia itu sendiri. Konsep keadilan hanya akan efektif untuk menjamin suatu kerja sama sosial apabila teori tersebut didasarkan pada sesuatu yang secara mendasar mamanusiakan. Dengan kata lain, seorang harus diperlakukan sebagai tujuan dalam dirinya sendiri  bukan sebagai alat atau sarana demi kepentingan di luar diri manusia itu sendiri. Dengan demikian, manusia sebagai pribadi yang bersifat rasional, bebas dan setara memiliki ruang untuk diakui. (Jhon Rawls, 2011:  220-221).

b) Prosedur  Keadilan Murni

Rawls mengakui bahwa persoalan keadilan bukan hanya persoalan distribusi hak dan kewajiban tetapi juga bagaimana mengatur beban kerja sama sosial dan pembagian keuntungan dari kerja sama itu. Supaya keadilan itu bisa dicapai, dalam arti tidak manipulatif dan diskriminatif, diperlukan suatu prosedur yang fair yang tidak memihak.

Rawls mengemukakan tiga prosedur dalam keadilan, yaitu prosedur sempurna, prosedur tidak sempurna, dan prosedur murni. (Jhon Rawls, 2011: 100-107). Prosedur sempurna dan tidak sempurna memiliki perbedaan dan persamaan. Persamaan keduanya terletak pada kriteria independen sedangkan perbedaannya terletak pada hasil. Dalam prosedur sempurna kriteria independen menghasilkan keadilan sesuai dengan yang diharapkan, sedangkan dalam prosedur tak sempurna, tidak ada jaminan adanya hasil seperti yang diharapkan.

Keadilan prosedural sempurna dapat digambarkan dengan orang yang membagi kue. Pembagian kue yang fair diansumsikan harus merata untuk setiap orang. Cara membaginya dengan menempatkan orang yang membagi kue untuk mendapat potongan yang terakhir, sedangkan orang lain dibiarkan sebelum pembagi. Oleh karena itu, pembagi kue harus membagi secara merata sehingga dirinya pun mendapat bagian yang sama besar. Di sini keadilan lebih diutamakan untuk orang lain sebelum individu tersebut diperlakukan secara adil.

Sedangkan, keadilan prosedural yang tidak sempurna dapat dicontohkan pada pengadilan kriminal. Hasil yang diinginkan adalah tersangka harus dinyatakan bersalah jika dan hanya jika ia melakukan pelanggaran yang dituduhkan. Prosedural ini mau melihat atau menyelidiki kebenaran, apakah sesuai dengan tuduhan atau tidak. Namun, ada kesulitan untuk merancang aturan-aturan yang legal dan tepat sehingga diharapkan memberikan hasil yang tepat. Dengan demikian, akibatnya adalah orang yang tidak bersalah dinyatakan bisa bersalah, dan orang yang bersalah bisa dibebaskan.

Namun, prosedur keadilan Rawls tidak mengikuti prosedur sempurna atau prosedur tidak sempurna tetapi prosedur murni. Di dalam keadilan prosedural yang murni, tidak ada standar yang dapat memutuskan apa yang adil terpisah dari prosedur itu sendiri. Keadilan diimplikasikan bukan pada hasil keluaran, melainkan pada sistem (Karen Leback, 1986: 59). Prosedur ini tidak mempunyai kriteria independen. Hasil yang diharapkan lahir dari prosedur itu sendiri. Contoh untuk memahami prosedur ini adalah permainan judi. Penjudi optimis untuk menang dan mengharapkan tidak ada kemungkinan untuk kalah dalam permainan itu. Dalam perjudian, kekalahan dan kemenangan tidak ditentukan sebelum bermain melainkan dalam keberlangsungan atau keseluruhan prosedur yang fair dalam permainan itu. Fair berarti seluruh proses permainan itu diterima oleh semua orang yang  terlibat dan diharapkan tidak ada kecurangan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun