Mohon tunggu...
Yakobus Sila
Yakobus Sila Mohon Tunggu... Human Resources - Pekerja Mandiri

Penulis Buku "Superioritas Hukum VS Moralitas Aparat Penegak Hukum" dan Buku "Hermeneutika Bahasa Menurut Hans Georg-Gadamar. Buku bisa dipesan lewat WA: 082153844382. Terima kasih

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Superioritas Hukum Versus Moralitas Aparat Penegak Hukum

27 Maret 2019   16:52 Diperbarui: 27 Maret 2019   18:50 3872
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Berperilaku Jujur. Menurut Pasal 6 Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 Tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, berperilaku jujur berarti:

         Dapat dan berani menyatakan bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Kejujuran mendorong terbentuknya pribadi            yang kuat dan membangkitkan kesadaran akan hakekat yang hak dan          yang batil (buruk). Dengan demikian, akan terwujud sikap pribadi          yang tidak berpihak terhadap setiap orang baik dalam persidangan maupun di luar persidangan.

         Uraian tersebut bermakna bahwa berperilaku jujur berkaitan sangat erat dengan membedakan secara tegas antara yang benar dan yang tidak benar. Aparat penegak hukum yang jujur akan membentuk dirinya menjadi pribadi yang kuat, yang tahu membedakan hak-hak orang lain dan tahu membedakan yang baik dan yang jahat, tidak berpihak dan tidak kompromistis terhadap kejahatan. Orang yang jujur selalu berlaku tegas dan fair.

         Menurut Franz Magnis-Suseso, bersikap jujur berarti bersikap adanya, bersikap berdasarkan apa yang muncul dari dalam diri sebagai diri kita sendiri, sesuai dengan keyakinan kita. Jujur berarti tidak menyebunyikan wajah kita yang sebenarnya, atau tidak menyesuaikan kepribadian kita dengan harapan-harapan dan keinginan orang lain. Dalam sikap dan tindakannya, manusia diharapkan untuk tanggap (respon) terhadap kebutuhan orang lain, kepentingan dan hak orang lain yang berhadapan dengan kita. Kita tidak bersikap egois belaka. Manusia seharusnya bersikap berkorban demi kepentingan orang lain. Namun hal itu kita lakukan bukan sekedar untuk menyesuaikan diri dengan kepentingan dan harapan orang lain, melainkan sebagai diri kita sendiri dengan sikap moral yang otonom bahwa berkorban untuk orang lain itu baik (Franz Magnis-Suseno, 1987:142). Dengan demikian, seorang penegak hukum yang baik dan berperiku jujur berarti seorang penegak hukum yang sadar dan tahu bahwa berperilaku jujur itu baik dalam dirinya sendiri. Berperilaku jujur bukan karena memenuhi harapan-harapan orang lain, tetapi karena berperilaku jujur dalam dirinya sendiri baik adanya. Dalam etika deontologis, Emannuel Kant menegaskan bahwa norma moral itu mengikat secara mutlak dan tidak bergantung dari apakah ketaatan atas norma tersebut membawa hasil yang menguntungkan atau tidak. Misalnya, norma moral 'jangan berbohong' atau 'bertindaklah secara adil' tidak perlu dipertimbangkan terlebih dahulu apakah menguntungkan atau tidak, disenangi atau tidak, melainkan selalu dan di mana saja harus ditaati entah apa pun akibatnya. Hukum moral mengikat mutlak semua manusia sebagai manusia rasional (Imannuel Kant seperti dikutip dalam J. Sudarminta, 2013:136). Bagi Kant, hukum moral selalu mengarahkan manusia pada kebaikan. Karena itu manusia mesti melakukan perintah moral sebab perintah moral tersebut baik dan adil dalam dirinya sendiri. Dengan demikian aparat penegak hukum juga wajib berperilaku jujur karena perintah moral tersebut baik dalam dirinya sendiri dan bukan berperilaku jujur untuk memenuhi harapan-harapan orang lain atau demi kepentingan yang menguntungkan individu dan kelompok tertentu.

Berperilaku arif dan bijaksana. Menurut Pasal 7 Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 Tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, berperilaku arif dan bijaksana berarti:

         Mampu bertindak sesuai dengan norma-norma yang hidup dalam    masyarakat baik norma-norma hukum, norma-norma keagamaan,    kebiasaan-kebiasaan maupun kesusilaan dengan memperhatikan situasi          dan kondisi pada saat itu, serta mampu memperhitungkan akibat dari          tindakannya. Perilaku yang arif dan bijaksana mendorong terbentuknya      pribadi yang berwawasan luas, mempunyai tenggang rasa yang tinggi,   bersikap hati-hati, sabar dan santun.

         Kebijaksanaan dan kearifan aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum mengandaikan jangkauan wawasan dan pengetahuan yang luas dan berakar pada norma-norma keagamaan, kebiasaan dan kesusilaan. Bijaksana dan arif berarti sikap yang selalu didasarkan pertimbangan yang matang dan hati-hati untuk menentukan suatu pilihan dan memutuskan suatu perkara. Orang yang bijaksana juga selalu membuka diri dan berdialog dengan orang lain untuk menentukan sikap dan pilihan, serta memutuskan secara tepat suatu persoalan sehingga memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak.

  d. Berintegritas tinggi. Dalam Pasal 9, Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 Tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim,  angka (1) berintegritas tinggi di maknai sebagai "memiliki sikap dan kepribadian yang utuh, berwibawa, jujur dan tak tergoyahkan; angka (2) integritas tinggi pada hakekatnya terwujud pada sikap setia dan tangguh berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam melaksanakan tugas; angka (3) integritas tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang berani menolak godaan dan segala bentuk intervensi, dengan mengedepankan tuntutan hati nurani untuk menegakkan kebenaran dan keadilan serta selalu berusaha melakukan tugas dengan cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan terbaik.

  e. Berperilaku bertanggungjawab. Dalam pasal 10 Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 Tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, bertanggungjawab berarti "kesediaan untuk melaksanakan sebaik-baiknya segala sesuatu yang menjadi wewenang dan tugasnya, serta memiliki keberanian untuk menanggung segala akibat atas pelaksanaan wewenang dan tugasnya tersebut".

  f. Profesional. Dalam Pasal 14 Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 Tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, profesional berarti "suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas.

                       Manusia (aparat penegak hukum) dalam keterbatasan, ketidakmampuan dan ketidaksempurnaannya tersebut membutuhkan sarana-sarana pembantu yang membantu dia, agar dapat berkembang menjadi aparat yang bermoral. Sarana pendukung tersebut antara lain: pertama, struktur hukum yang baik. Kedua, lingkungan kerja yang mendukung. Ketiga, sistem penegakan hukum yang tidak memberi peluang bagi penyimpangan dalam penegakan hukum. Keempat, kehidupan ekonomi aparat penegak hukum diperhatikan dan dijamin.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun