Mohon tunggu...
Didik Prasetyo
Didik Prasetyo Mohon Tunggu... Live - Love - Life

Menulis adalah cara untuk menyulam hidup dan mengabadikan kasih yang tak lekang oleh waktu.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Surat dari Cahaya yang Bertahan

22 April 2025   08:47 Diperbarui: 22 April 2025   08:59 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Surat dari Cahaya yang Bertahan | pixabay

LAGU YANG TAK SELESAI

Bab 14 Surat dari Cahaya yang Bertahan

Angin malam menyusup pelan di antara sela-sela jendela barak. Dingin yang dulu menggigit kini terasa berbeda. Bukan lagi sebagai musuh, tapi sebagai bisikan yang membawa pesan. Ada sesuatu yang berubah di Camp 6 Ambarawa. Getarnya halus, tapi merambat ke setiap jiwa yang masih bisa berharap.

Pambudi bangun lebih pagi hari itu. Sebuah firasat yang tak bisa ia namai menyeret langkahnya ke sudut dapur yang lama tak disentuh. Di sana, di balik tumpukan karung gandum sisa, ada sebuah kotak kayu kecil, tertutup debu, tapi tak dikunci.

Ia membuka perlahan. Di dalamnya terletak rapi tumpukan kertas, disusun dengan tali kain merah kusam.

Surat-surat.

Catatan-catatan.

Tangan Pambudi gemetar saat menyentuh lembaran pertama. Tulisannya ia kenal. Goresan pena Nora yang miring ke kanan, seperti sedang berlari mengejar waktu. Ia duduk perlahan, seolah takut menjatuhkan dunia yang sedang ia genggam.

Catatan-catatan itu bukan sekadar tulisan. Mereka adalah nafas yang tertinggal. Ada doa-doa yang pernah dibisikkan dalam gelap, ada nama-nama yang ia rawat dengan kasih, bahkan ada sketsa wajah anak-anak yang ia lindungi diam-diam. Di samping masing-masing, tertera satu kalimat harapan.

"Anna ingin belajar membaca."

"Pieter rindu suara lonceng gereja."

"Ibu Tien masih ingat aroma melati di halaman rumahnya."

Semua itu disatukan dalam bingkai yang lembut dan getir. Sebuah memorial yang bukan untuk ditangisi, melainkan untuk disampaikan pada dunia, bahwa bahkan dalam penderitaan, manusia bisa tetap menulis dengan cinta.

Pambudi membaca sampai tangisnya kering. Tapi lembar terakhir membuatnya terdiam paling lama.

Sebuah amplop. Bertulis tangan, dengan tinta yang tampaknya dicampur air hujan.

'Untukmu yang memikul sisa-sisa langkahku,

Jika surat ini tiba padamu, maka aku percaya, Tuhan tidak membiarkan malam menang sepenuhnya.

Aku masih hidup. Tapi tidak lagi di tempat yang sama.

Mereka memindahkanku ke Camp Induk, di pinggiran Semarang. Mungkin karena aku dianggap terlalu "membakar" semangat di sini. Atau karena mereka pikir memisahkan kita akan menghentikan sesuatu yang lebih besar dari kita.

Pambudi, aku tahu dunia kita tidak kembali seperti semula. Tapi dunia yang baru bisa lahir, bahkan dari abu. Dan kamu adalah api kecil itu.

Lanjutkan. Bukan demi aku. Tapi demi semua nama yang sudah kamu hafalkan lebih dari doa tidurmu.

Aku menulis ini dengan sisa tenagaku, di balik sel jeruji, saat malam terlalu sunyi untuk ditangisi.

Tuhan tidak tidur. Kau pun jangan padam.

--- Nora'

Pambudi memeluk surat itu seperti memeluk tubuh yang telah lama hilang. Tidak ada kata-kata yang cukup. Hanya linangan air mata yang menjadi saksi bahwa cinta sejati tidak pernah punah, ia hanya berpindah bentuk.
---
Berita itu menyebar diam-diam seperti mata air yang menemukan celah. Para interniran berbisik di antara cangkir kopi hitam dan roti kering. "Nora masih hidup." "Ia menulis surat." "Ia percaya pada kita."

Malam itu, Camp 6 tidak lagi senyap. Di tiap barak, ada cahaya lilin. Para wanita menyulam kain dengan lebih tekun, anak-anak menyanyikan lagu Jawa dengan suara yang tak lagi pecah dan Pambudi duduk di depan dapur, membaca catatan-catatan Nora satu per satu di bawah cahaya bulan.

Dan ketika pagi datang, datang pula suara kendaraan dari arah luar.

Truk milik Palang Merah.

Di belakangnya, satu jip berplat Belanda dengan bendera putih tergulung.

Komandan Jepang memanggil seluruh interniran. Di tengah lapangan, dengan suara yang tak biasanya gemetar, ia mengumumkan:

"Camp ini akan ditutup. Kalian akan dipindahkan dan dibebaskan secara bertahap. Perang mendekati akhir. Kalian... bebas."

Tidak ada sorak-sorai. Hanya hening panjang yang lebih lantang dari teriakan. Karena kebebasan yang datang tiba-tiba sering kali tak langsung bisa dipercaya. Tapi satu demi satu, wajah-wajah mulai mengangkat, mata-mata mulai menyala.

Pambudi menatap langit. Dan dalam batinnya, ia berkata:

"Lihat, Nora. Akhirnya fajar datang juga."
---
Beberapa hari kemudian, Camp 6 resmi ditinggalkan.

Interniran diberi kesempatan menuliskan satu benda yang ingin mereka bawa. Ada yang memilih Alkitab lusuh, ada yang memilih pot bunga mati, ada yang membawa pakaian bayi yang tak sempat lahir.

Pambudi hanya membawa kotak kecil berisi surat-surat Nora.

Dan saat gerbang terbuka, ia menoleh sekali lagi. Melihat bayang dapur, barak, tanah lapang dan semua tempat dimana harapan pernah nyaris mati tapi kemudian memilih bangkit.

Di luar camp, para biarawati menyambut dengan senyum dan air mata. Sr. Agnes menepuk bahu Pambudi pelan. "Kau tidak hanya menyelamatkan orang. Kau menyelamatkan cerita."

Dan Pambudi menjawab, "Cerita itu milik Nora. Aku hanya penjaganya."
---
Beberapa minggu kemudian, sebuah surat datang.

Beramplop krem, berstempel Palang Merah Internasional.

Ditujukan pada: Pambudi, Penjaga Dapur Camp 6 Ambarawa.

Isinya singkat:

'Aku diberi waktu menulis satu surat untuk dunia luar. Dan aku memilih menulis padamu.

Kamp ini akan dibuka untuk umum. Para saksi akan dipanggil. Aku akan bicara. Dan aku ingin kau juga hadir.

Bukan untuk menyatakan dendam. Tapi untuk menunjukkan bahwa yang bertahan bukan hanya tubuh. Tapi jiwa... dan cinta.

Bawalah kotak kayu itu. Dunia harus tahu bahwa cinta pun bisa dicatat.

Tertanda: Nora'
---
Hari itu, langit Ambarawa bersih seperti lembar kertas baru.

Dan di jalanan sempit menuju sisa bangunan Camp 6, dua langkah bertemu kembali, langkah yang dulu sempat berpisah oleh tembok dan perang, tapi tak pernah tercerai oleh harapan.

Pambudi dan Nora.

Tak saling berlari.

Tak saling menangis.

Hanya saling memandang, seperti dua jiwa yang tahu bahwa mereka telah melewati api dan keluar sebagai cahaya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun