Aku menulis ini dengan sisa tenagaku, di balik sel jeruji, saat malam terlalu sunyi untuk ditangisi.
Tuhan tidak tidur. Kau pun jangan padam.
--- Nora'
Pambudi memeluk surat itu seperti memeluk tubuh yang telah lama hilang. Tidak ada kata-kata yang cukup. Hanya linangan air mata yang menjadi saksi bahwa cinta sejati tidak pernah punah, ia hanya berpindah bentuk.
---
Berita itu menyebar diam-diam seperti mata air yang menemukan celah. Para interniran berbisik di antara cangkir kopi hitam dan roti kering. "Nora masih hidup." "Ia menulis surat." "Ia percaya pada kita."
Malam itu, Camp 6 tidak lagi senyap. Di tiap barak, ada cahaya lilin. Para wanita menyulam kain dengan lebih tekun, anak-anak menyanyikan lagu Jawa dengan suara yang tak lagi pecah dan Pambudi duduk di depan dapur, membaca catatan-catatan Nora satu per satu di bawah cahaya bulan.
Dan ketika pagi datang, datang pula suara kendaraan dari arah luar.
Truk milik Palang Merah.
Di belakangnya, satu jip berplat Belanda dengan bendera putih tergulung.
Komandan Jepang memanggil seluruh interniran. Di tengah lapangan, dengan suara yang tak biasanya gemetar, ia mengumumkan:
"Camp ini akan ditutup. Kalian akan dipindahkan dan dibebaskan secara bertahap. Perang mendekati akhir. Kalian... bebas."
Tidak ada sorak-sorai. Hanya hening panjang yang lebih lantang dari teriakan. Karena kebebasan yang datang tiba-tiba sering kali tak langsung bisa dipercaya. Tapi satu demi satu, wajah-wajah mulai mengangkat, mata-mata mulai menyala.