"Pieter rindu suara lonceng gereja."
"Ibu Tien masih ingat aroma melati di halaman rumahnya."
Semua itu disatukan dalam bingkai yang lembut dan getir. Sebuah memorial yang bukan untuk ditangisi, melainkan untuk disampaikan pada dunia, bahwa bahkan dalam penderitaan, manusia bisa tetap menulis dengan cinta.
Pambudi membaca sampai tangisnya kering. Tapi lembar terakhir membuatnya terdiam paling lama.
Sebuah amplop. Bertulis tangan, dengan tinta yang tampaknya dicampur air hujan.
'Untukmu yang memikul sisa-sisa langkahku,
Jika surat ini tiba padamu, maka aku percaya, Tuhan tidak membiarkan malam menang sepenuhnya.
Aku masih hidup. Tapi tidak lagi di tempat yang sama.
Mereka memindahkanku ke Camp Induk, di pinggiran Semarang. Mungkin karena aku dianggap terlalu "membakar" semangat di sini. Atau karena mereka pikir memisahkan kita akan menghentikan sesuatu yang lebih besar dari kita.
Pambudi, aku tahu dunia kita tidak kembali seperti semula. Tapi dunia yang baru bisa lahir, bahkan dari abu. Dan kamu adalah api kecil itu.
Lanjutkan. Bukan demi aku. Tapi demi semua nama yang sudah kamu hafalkan lebih dari doa tidurmu.