Ia menoleh pada perempuan-perempuan desa yang berdiri pucat, yang selama ini diam dan menunduk. "Tubuh kita bukan milik mereka. Rahim kita bukan altar untuk pengorbanan."
Dengan kedua tangannya, ia mengangkat sekeranjang hasil bumi: jagung emas, kentang dari tanah hitam, sayur yang disiram peluh para perempuan desa. Ia melemparkannya ke kawah.
"Ambil panen dari rahim bumi, bukan rahimku. Ambil hasil ladang yang kami rawat, bukan anak yang lahir dari luka tubuhku."
Kawah bergemuruh, tapi tak melahap Kusuma. Api menyala, tapi tak menjilat bayi itu. Gunung menerima jagung dan sayur, menyimpannya di perutnya.
Malam itu, perempuan-perempuan desa mengerti: rahim bukan untuk dipaksa. Rahim adalah kawah yang boleh memilih tenang. Anak adalah benih yang boleh dijaga, bukan dikorbankan. Tubuh perempuan adalah ladang yang berdaulat, yang berhak menolak dijarah.
Sejak saat itu, asap Bromo tak lagi hanya bau belerang. Ia adalah bisikan perlawanan yang merayap bersama kabut: Tubuh perempuan bukan janji. Rahim perempuan bukan sesajen. Anak bukan tumbal api.
Dan suara itu tidak mati di lereng gunung. Ia menyusup ke zaman lain. Ia menembus ruang-ruang sempit kota, meja makan keluarga, ruang kantor, dan forum-forum yang dipenuhi pertanyaan sama:
"Kapan kau menikah?"
"Kapan kau beranak?"
"Kapan kau memberi garis keturunan?"
Di setiap tubuh perempuan yang dipaksa menjawab, bisikan Roro Anteng menyala seperti api yang tak padam: Tubuhku adalah gunungku sendiri. Kawahku, tubuhku, benihku. Aku berhak memilih hening, aku berhak memilih tumbuh, aku berhak melahirkan hidup tanpa pengorbanan.