Gunung selalu ditulis sebagai laki-laki. Kokoh, gagah, menjulang, menatap langit dengan dada yang tak pernah runtuh. Tetapi siapa yang mengingat bahwa di puncaknya ada kawah, rongga dalam, berapi, menganga seperti rahim yang terus hidup? Siapa yang mau mengakui bahwa gunung juga perempuan: tanahnya retak, tubuhnya melahirkan sungai, kawahnya menyimpan api dan kehidupan sekaligus?
Roro Anteng tahu itu. Sejak tubuhnya dianggap kering, sejak ia disebut mandul, ia sadar: orang menatap rahimnya seperti menatap ladang gagal panen. Seperti tanah tanpa tunas. Seperti bumi yang dikhianati musim hujan. Tak seorang pun melihat bahwa tanah boleh memilih diam, rahim boleh memilih kosong, kawah boleh memilih sunyi.
Tetapi adat, suara lelaki, dan takut pada dewa, memaksanya tunduk. "Mintalah keturunan," kata suaminya. "Mintalah benih, agar garis ini tak putus." Maka ia pun dipaksa merapal doa. Janji terucap: bila dua puluh lima benih tumbuh dari rahimnya, satu harus kembali ke kawah.
Rahim Roro Anteng menjadi ladang yang dibuka berulang-ulang. Dua puluh lima kali tanah tubuhnya dirobek. Dua puluh lima kali air matanya tumpah bersama darah. Dua puluh lima kali ia melawan maut hanya untuk menyelamatkan kehidupan yang mendekap di dalam. Tubuhnya adalah gunung yang dipaksa erupsi, berulang-ulang, hingga retak, hingga luka.
Dan saat tubuhnya hampir tak sanggup, suara kawah berdesis: "Serahkan Kusuma. Anak bungsu. Itu janji."
Roro Anteng terdiam. Ia memandang bayinya, benih terakhir yang tumbuh dari luka paling dalam. Mengapa tubuhnya harus menjadi kawah hutang? Mengapa rahimnya dipaksa beranak demi adat, lalu buahnya dipetik untuk dikorbankan? Apakah rahim perempuan tidak boleh memilih tak beranak? Apakah kawah di dalam tubuhnya hanya alat barter bagi lidah lelaki dan ketamakan para dewa?
Kusuma tertidur di lengannya, napasnya ringan seperti angin yang menyisir puncak rumput. Tubuh mungil itu adalah benih yang seharusnya tumbuh, bukan dijatuhkan ke api.
"Mengapa perempuan selalu diminta memberi?" bisik Roro Anteng dalam hati. "Memberi tubuhnya untuk dibelah, memberi darahnya untuk menghidupkan, memberi anaknya untuk dijadikan sesajen. Bukankah bumi sudah mengajar kita panen tanpa korban manusia? Bukankah hujan sudah menumbuhkan tanpa harus menelan bayi?"
Malam itu, orang-orang berkumpul di tepi kawah. Langit suram, asap menari, suara api bergemuruh. Semua menunggu janji ditepati. Semua menunggu tubuh kecil itu dilempar.
Namun Roro Anteng melangkah maju, matanya api yang lebih tua dari kawah. "Tidak!" suaranya menggema ke dinding gunung. "Rahimku bukan janji! Rahimku bukan kawah hutang. Kusuma bukan sesajen. Ia adalah benih kehidupan, bukan korban api."
Ia menoleh pada perempuan-perempuan desa yang berdiri pucat, yang selama ini diam dan menunduk. "Tubuh kita bukan milik mereka. Rahim kita bukan altar untuk pengorbanan."
Dengan kedua tangannya, ia mengangkat sekeranjang hasil bumi: jagung emas, kentang dari tanah hitam, sayur yang disiram peluh para perempuan desa. Ia melemparkannya ke kawah.
"Ambil panen dari rahim bumi, bukan rahimku. Ambil hasil ladang yang kami rawat, bukan anak yang lahir dari luka tubuhku."
Kawah bergemuruh, tapi tak melahap Kusuma. Api menyala, tapi tak menjilat bayi itu. Gunung menerima jagung dan sayur, menyimpannya di perutnya.
Malam itu, perempuan-perempuan desa mengerti: rahim bukan untuk dipaksa. Rahim adalah kawah yang boleh memilih tenang. Anak adalah benih yang boleh dijaga, bukan dikorbankan. Tubuh perempuan adalah ladang yang berdaulat, yang berhak menolak dijarah.
Sejak saat itu, asap Bromo tak lagi hanya bau belerang. Ia adalah bisikan perlawanan yang merayap bersama kabut: Tubuh perempuan bukan janji. Rahim perempuan bukan sesajen. Anak bukan tumbal api.
Dan suara itu tidak mati di lereng gunung. Ia menyusup ke zaman lain. Ia menembus ruang-ruang sempit kota, meja makan keluarga, ruang kantor, dan forum-forum yang dipenuhi pertanyaan sama:
"Kapan kau menikah?"
"Kapan kau beranak?"
"Kapan kau memberi garis keturunan?"
Di setiap tubuh perempuan yang dipaksa menjawab, bisikan Roro Anteng menyala seperti api yang tak padam: Tubuhku adalah gunungku sendiri. Kawahku, tubuhku, benihku. Aku berhak memilih hening, aku berhak memilih tumbuh, aku berhak melahirkan hidup tanpa pengorbanan.
Dan setiap kali gunung berasap, perempuan yang mendongak ke langit akan tahu: api itu adalah suaranya sendiri, yang tak lagi bisa dibungkam.
Jakarta, 2025
*Cerpen ini ditulis berdasarkan reimajinasi feminis atas legenda Bromo
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI