Sudah lama Paiman, berharap anak sulungnya menggarap sawah. Tapi Sarwono lebih tergiur bekerja di kota.Â
Jakarta dipilihnya. Dijualnya sebagian sawah jatahnya, untuk modal awal hidup di Jakarta.Â
Diam-diam Sarwono, nguping di ruang tengah. Mendengar percakapan bapak dan adiknya itu. Sarwono, sebenarnya merasa tidak enak sama adiknya Sutarjo.Â
Minggu ini, giliran sawah Tarjo yang seharusnya dapat jatah air. Ini sudah disepakati, karena sawah keduanya, berdampingan.Â
"Sepertinya bapak, selalu mbelain Mas Wono, padahal, aku dah ngalah, minggu lalu, sawah Mas Wono sudah kebagian air, yang harusnya bagianku"
"Tapi aku ngalah. Aku sampai tunda untuk nggarap sawah, karena sawah masih kering". "
Kalau minggu ini, sawahku kering, padi yang masih hijau-hijau itu bisa langsung menguning sebelum waktunya Pak"
"Kering dan gabuk, karena kekeringan" kata Tarjo, protes ke bapaknya dengan panjang lebar.Â
Di balik dinding ruang tengah, yang memisahkan ruang tengah dan dapur, Sarwono, masih terdiam. Antara paham dan ego karena dia merasa kakak yang harus didahulukan.Â
Lagian pikir Sarwono, beban Tarjo tidak begitu berat. Anaknya baru satu, belum sekolah. Belum butuh biaya banyak.Â
Sementara, Sarwono, kedua anaknya sudah butuh biaya. Anak pertamanya, sudah kelas dua SMP dan anak bungsunya kelas lima SD.Â