"Pak, kalau Mas Wono bulan ini gagal panen, khan sebenarnya nggak apa-apa. Lagian dia masih punya duit pesangon dari pabrik, tempatnya kerja dulu di Jakarta"
"Tapi kalau saya yang gagal panen, saya mau makan apa? sementara hanya beberapa petak sawah itu, penghasilanku satu-satunya" kata Tarjo kemudian, seperti masih ngotot untuk dapat bagian jatah air.Â
"Harusnya Mas Wono yang ngalah sama adiknya" sergah Tarjo.
Tarjo berpikir, bapaknya pilih kasih. Dulu, waktu Sarwono bekerja di Jakarta, modal awal hidup di Jakarta, hasil menjual beberapa petak sawah bapaknya.
Juga untuk biaya hidup selama beberapa bulan, sebelum Sarwono dapat pekerjaan. Beberapa bulan hidup di Jakarta. Sarwono menganggur.Â
Ia bertahan hidup dengan hasil jual sawah bapaknya. Beberapa bulan setelah itu, barulah dapat pekerjaan.Â
Pekerjaan di pabrik, diperoleh Sarwono, dengan nyogok mandor pabrik, teman kecilnya dulu di kampung.
Lagi-lagi Paiman menjual beberapa petak sawah lagi untuk Sarwono. Modal untuk nyogok mandor pabrik, teman kecilnya itu agar bisa masuk bekerja di tempatnya.Â
Itupun, petak sawah yang seharusnya bagian adiknya. Tarjo berpikir sebagai adik, dia sudah banyak mengalah demi kakaknya.Â
Bahkan sawah kakaknya sebenarnya sudah habis dijual untuk modal hidupnya di Jakarta. Dan sekarang kakaknya itu, menggarap sawah bapaknya.Â
Kini, begitu kemarau, dia harus mengalah lagi, demi kakaknya? Tarjo kali ini berontak melawan kemauan bapaknya. Ia tak sudi mengalah terus. Hidupnya sudah melarat demi kakaknya.Â