Mohon tunggu...
Widodo Antonius
Widodo Antonius Mohon Tunggu... Guru SD Tarsisius Vireta Tangerang

Hobi membaca menulis dan bermain musik

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cerpen: Kembali Menjadi Satu

16 September 2025   09:13 Diperbarui: 16 September 2025   09:13 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerpen: Kembali Menjadi Satu

Oleh: Widodo, S.Pd.

I. Retakan

Suatu pagi yang tak akan pernah dilupakan Naya, suara pintu berderit disertai tas besar di tangan ayahnya. Usianya baru lima tahun, terlalu kecil untuk memahami arti kata "berpisah." Yang ia tahu hanya tangis ibunya, wajah ayah yang menahan kata, dan lengannya yang dingin saat memeluk untuk terakhir kali.

"Ayah sayang Naya. Jangan lupa itu," bisik ayahnya sebelum melangkah pergi.

Hari-hari setelahnya sepi. Kursi di meja makan kehilangan satu pemilik. Sepatu laki-laki tak lagi tergeletak di depan pintu. Naya sering menatap jendela setiap sore, berharap sosok itu kembali.

II. Menjadi Dua

Ibunya, Ratna, seorang guru SD, berusaha menambal kekosongan dengan kerja keras. Ia pulang sore membawa setumpuk buku yang harus diperiksa. Kadang malam, ia masih mengetik laporan di meja kecil. Namun dalam setiap kesibukan, ia selalu menyelipkan senyum untuk anak semata wayangnya.

"Naya, hidup kita mungkin berbeda. Tapi percayalah, Ibu akan selalu ada," katanya.

Naya tumbuh dalam belaian seorang ibu yang tangguh. Namun di sudut hatinya, ia merindukan sosok ayah.

Yang tak diketahui Naya, ayahnya, Ardi, tak pernah benar-benar jauh. Ia menolak menikah lagi, meski kesempatan datang. Ia bekerja di sebuah perusahaan mobil ternama. Dari kejauhan, ia mengawasi. Sesekali ia menitipkan hadiah kecil: boneka di meja belajar, buku dongeng di tas sekolah, kartu ulang tahun yang diselipkan di kotak surat.

"Bu, siapa yang taruh ini?" tanya Naya ketika menemukan buku cerita baru.
Ibunya hanya tersenyum samar. "Mungkin ada malaikat yang sayang padamu."

III. Jejak yang Tersisa

Waktu berlari. Dari seorang anak kecil yang suka berlari di halaman, Naya tumbuh menjadi remaja SMA. Ia berprestasi di sekolah, sering meraih juara lomba pidato. Saat menerima piala, ia menoleh ke arah penonton. Ibunya selalu hadir, bertepuk tangan penuh bangga. Namun entah mengapa, Naya merasa ada tatapan lain, jauh di balik kerumunan.

Dan benar, di kejauhan, Ardi berdiri, sekadar menatap, lalu menghilang sebelum Naya sempat menghampiri. Ia tak ingin merusak keseimbangan yang ibunya bangun dengan susah payah.

IV. Pertemuan Pertama

Hingga suatu sore ketika Naya sudah menjadi mahasiswi, takdir mempertemukannya kembali. Ia menghadiri sebuah pameran mobil di pusat kota. Saat berjalan di antara deretan kendaraan mewah, matanya tertumbuk pada seorang pria paruh baya berseragam rapi. Rambutnya mulai beruban, namun sorot matanya masih sama: hangat, teduh, sekaligus penuh rindu.

"Ayah..." lirih Naya, hampir tak percaya.

Ardi tertegun. Suara itu seperti gema masa lalu yang tak pernah padam. Mereka saling pandang lama, tak tahu harus berkata apa.

"Naya sudah besar," ucap Ardi akhirnya, suaranya bergetar.

Air mata Naya jatuh tanpa bisa ditahan. Untuk pertama kali dalam bertahun-tahun, ia memeluk ayahnya, meski penuh canggung.

V. Luka yang Tersisa

Malam itu Naya tak bisa tidur. Bayangan ayah memenuhi pikirannya. Ia ingin menceritakan semuanya pada ibunya, tapi takut menambah luka. Namun akhirnya, ia memilih jujur.

"Bu," katanya pelan di meja makan, "aku bertemu Ayah hari ini."

Sendok di tangan ibunya terhenti. Ratna menunduk lama, lalu menghela napas. "Ibu tahu, Naya. Ayahmu tidak pernah benar-benar pergi. Ia hanya menjaga jarak. Tapi... aku tak ingin kau terluka."

Naya menggenggam tangan ibunya. "Bu, aku hanya ingin kita bisa duduk bertiga. Meski hanya sekali. Aku ingin tahu rasanya keluarga lagi."

VI. Meja Makan yang Utuh

Beberapa minggu kemudian, keberanian itu diwujudkan. Ratna, dengan segala kerendahan hatinya, mengundang Ardi ke rumah.

Meja makan kecil itu kembali terisi tiga kursi. Awalnya canggung. Ardi menunduk, Ratna hanya menatap piring. Hingga Naya berkata, "Bukankah cinta itu bisa hadir dengan bentuk berbeda? Aku tak ingin banyak. Aku hanya ingin kita menjadi keluarga, meski caranya sederhana."

Keheningan perlahan berubah. Tawa kecil muncul. Obrolan demi obrolan mengalir. Tentang masa kecil Naya, tentang perjuangan ibunya, tentang kerja keras ayahnya. Seolah-olah tahun-tahun yang hilang menemukan jalannya kembali.

VII. Utuh dengan Caranya Sendiri

Tak ada kata rujuk resmi, tak ada janji besar. Namun sejak malam itu, Ardi mulai sering datang. Menjemput Naya kuliah, membantu Ratna memperbaiki genteng bocor, atau sekadar duduk di teras sambil minum teh.

Bagi Naya, itu sudah cukup. Ia merasa hidupnya lengkap.
Ayah ada. Ibu ada. Dan ia tahu, keluarganya mungkin tidak sempurna, tapi akhirnya menjadi utuh kembali dengan caranya sendiri.

Dan di mata seorang anak, itu lebih dari segalanya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun