V. Luka yang Tersisa
Malam itu Naya tak bisa tidur. Bayangan ayah memenuhi pikirannya. Ia ingin menceritakan semuanya pada ibunya, tapi takut menambah luka. Namun akhirnya, ia memilih jujur.
"Bu," katanya pelan di meja makan, "aku bertemu Ayah hari ini."
Sendok di tangan ibunya terhenti. Ratna menunduk lama, lalu menghela napas. "Ibu tahu, Naya. Ayahmu tidak pernah benar-benar pergi. Ia hanya menjaga jarak. Tapi... aku tak ingin kau terluka."
Naya menggenggam tangan ibunya. "Bu, aku hanya ingin kita bisa duduk bertiga. Meski hanya sekali. Aku ingin tahu rasanya keluarga lagi."
VI. Meja Makan yang Utuh
Beberapa minggu kemudian, keberanian itu diwujudkan. Ratna, dengan segala kerendahan hatinya, mengundang Ardi ke rumah.
Meja makan kecil itu kembali terisi tiga kursi. Awalnya canggung. Ardi menunduk, Ratna hanya menatap piring. Hingga Naya berkata, "Bukankah cinta itu bisa hadir dengan bentuk berbeda? Aku tak ingin banyak. Aku hanya ingin kita menjadi keluarga, meski caranya sederhana."
Keheningan perlahan berubah. Tawa kecil muncul. Obrolan demi obrolan mengalir. Tentang masa kecil Naya, tentang perjuangan ibunya, tentang kerja keras ayahnya. Seolah-olah tahun-tahun yang hilang menemukan jalannya kembali.
VII. Utuh dengan Caranya Sendiri
Tak ada kata rujuk resmi, tak ada janji besar. Namun sejak malam itu, Ardi mulai sering datang. Menjemput Naya kuliah, membantu Ratna memperbaiki genteng bocor, atau sekadar duduk di teras sambil minum teh.