Mohon tunggu...
Wahyu Chandra
Wahyu Chandra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan blogger

Jurnalis dan blogger, tinggal di Makassar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Motif di Balik Tuduhan Plagiarisme Penyair Taufik Ismail

3 April 2011   22:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:09 2340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BP beberapa kali ikut mengomentari komentar-komentar yang ada. Hanya beberapa komentar penting yang akan saya tunjukkan di sini, salah saytunya:

"njiplaknya bukan baru sekarang lho, sajak "Kerendahan Hati" ini banyak dikutip dan didakwahkan ke mana-mana oleh penggemarnya. Seseorang memberitau aku bahwa dia njiplak dan karena aku sebel dengan kelakuan dia nggencet-...ngencet LEKRA, bahkan terakhir orang-orang eks Bumi Tarung yang sudah sepuh-sepuh juga mau dikerjainya ... jadi kuumumkan sebisaku bahwa muka pantat satu ini memang otak kurap. Odji Lirungan, aku gak tau, mungkin ada yang bisa mediasi ke dia supaya dia punya kesempatan memperkecil kemaluannya?

Ada juga yang berinisial SD menulis: TI itu pernah ketemu saya th 81an ketika masih mimpin LPKJ...dulu di Jkt saya sangat menghormat ketika itu membawa mhs saya sekitar kampus LPKJ membaca puisi dan menyemangati yg muda...ee lama-lama kok makin tua kok koyo anggota front pembela ya...apa makin tua senimannya luntur....toleransi dg yg bukan seiman...dg seniman muda lalu kurang dan sirna.....?

Jika membaca komentar-komentar di atas maka terlihat bahwa sebagain besar komentator-komentator, yang kemungkinan besar dekat secara pribadi dengan BP, memang adalah orang-orang yang berseberangan dengan TI atau malah orang-orang yang secara ideologi merasa tertindas dengan tindak-tanduk TI yang dinilai tidak menghargai sastrawan-sastrawan kontemporer dan juga menolak keberadaan LEKRA. Anda bisa lihat betapa komentator-komentator itu saling sambut menyambut tanpa ada seorang pun melakukan interupsi, sehingga bisa dibayangkan aliran informasi yang berkembang semakin jauh dari subtansi yang sebenarnya. Bahkan sudah mengarah pada sisi pribadi BP.

Jika kembali ke sejarah kesusastraan Indonesia, khususnya pasca runtuhnya Orde Lama, para sastrawan yang tergabung dengan LEKRA memang mendapat penentangan yang luar biasa dari pihak-pihak yang justru pada masa sebelumnya menilai dirinya adalah pihak yang tertindas oleh LEKRA yang oleh LEKRA sendiri dijuluki MANIKEBU atau Manifesto Kebudayaan yang salah satu tokohnya adalah HB Jassin. Para sastrawan LEKRA adalah penganut apa yang dinamakan sastra Realisme atau Realisme Sosial yang menjadi genre sastra dominan di negara-negara berfaham komunis.

Realisme sosialis, menurut kubu Lekra, meletakkan "kenyataan dan kebenaran" yang lahir dari "pertentangan-pertentangan yang berlaku di dalam masyarakat maupun di dalam hati manusia" sebagai dasar material kesenian. Dari situ, akan terlihat sejumlah gerak maju dan "hari depan" manusia. Dengan demikian, berlaku kesimpulan bahwa "seni untuk rakyat". Di Indonesia, realisme sosialis dikembangkan oleh Lekra atas dasar keberpihakan kepada rakyat daripada atas logika marxisme. Kedekatan realisme sosialis dengan marxisme terletak pada semangat, kesamaan perjuangan, dan pilihan hidup. Tidak terbukti bahwa hubungan keduanya merupakan hubungan organisatoris meskipun banyak anggota Lekra juga anggota PKI.


Konon di masa jayanya LEKRA secara 'sewenang-wenang' membakar buku-buku yang dianggap tidak sejalan dengan konsep sastra yang diyakininya, yaitu realisme sosial itu. Namun, pada masa ORDE BARU adalah masa suram bagi LEKRA. Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan terkemuka LEKRA diasingkan ke Pulau Buru bersama buangan komunis lainnya. Semua karya-karyanya 'haram' untuk dipublikasikan dan dibaca, meskipun kemudian menjadi bacaan wajib para aktivis pro-demokrasi di era Orde Baru. TI sendiri dinilai sebagai salah seorang sastrawan yang ikut memberi andil dalam pemberangusan LEKRA dengan bukunya "Prahara Budaya" yang dinilai sangat menyerangan sastrawan LEKRA.

***

Kembali ke laptop. Hal yang menarik kemudian dalam komentar status tersebut adalah kemunculan Hardi, salah seorang pelukis yang cukup kondang, yang menggunakan nama Sang Hardi (SH) yang dalam komentar awalnya menulis: kaget saya ..baca syair pak douglash malloch.

Bisa disimpulkan bahwa, pada awal komentarnya, SH pun, sebagaimana komentator lainnya bereaksi 'positif' berdasarkan 'sedikit' informasi yang diterimanya. Ia menyatakan kaget kemungkinan karena secara pribadi ia kenal dengan sosok TI yang jauh dari apa yang dituduhkan (Ini akan terlihat pada komentarnya kemudian). Reaksi SH adalah hal yang wajar dan biasa kita dapatkan ketika mendengar sebuah kejadian atau informasi yang tidak masuk akal bagi kita. Kita akan mencari informasi-informasi yang relevan, meski sedikit. Mengecek kebenaran fokus pada apa yang dipermasalahkan. Kita mengalami apa yang Malcolm Gladwell istilahkan sebagai autis ringan, dimana kita abai pada hal-hal selain pada yang sedang kita fokus terhadapnya. Hal ini pun kira-kira yang dialami oleh Helvy Tyana Rosa ataupun Saut Situmorang (?) dan sejumlah orang lainnya, dan termasuk saya pada awalnya.

Kehadiran SH berkomentar dalam status ini awalnya bahkan sepertinya dianggap sebagai sesuatu yang ditunggu-tunggu. Dengan adanya komentar SH, yang diharapkan akan bereaksi sama dengan yang lainnya, akan semakin meneguhkan keyakinan para komentator-komentator lain yang telah apriori atas diri TI. Apalagi kemudian SH menulis:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun