Mohon tunggu...
Wahyu Chandra
Wahyu Chandra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan blogger

Jurnalis dan blogger, tinggal di Makassar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Motif di Balik Tuduhan Plagiarisme Penyair Taufik Ismail

3 April 2011   22:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:09 2340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_99903" align="aligncenter" width="640" caption="Taufik Ismail/Admin (kapanlagi.com)"][/caption]

Pada tahun 1945, hanya beberapa saat sebelum Jepang menyerah kepada sekutu pada akhir Perang Dunia II, seorang guru orang Cina melancong di kawasan Maine, salah satu negara bagian di Amerika Serikat. Guru itu membawa sebuah buku panduan, yang isinya mengatakan bahwa pemandangan yang paling menakjubkan di kawasan itu dapat dinikmati di salah satu puncak bukit. Maka ketika singgah di sebuah kota kecil yang disebutkan dalam buku panduan itu, ia menanyakan arah jalan ke bukit termaksud pada penduduk lokal setempat. Ternyata pertanyaan tersebut belakang berkembang menjadi kabar burung yang dengan cepat menyebarkan informasi berikut: ada mata-mata Jepang pergi ke puncak bukit untuk memotret wilayah kita.

Kisah di atas adalah pengantar Gordon Allport yang menulis the Psycology of Rumor untuk menjelaskan bagaimana sebuah kabar burung bekerja dan diyakini sebagai kebenaran oleh sebagian besar masyarakat, yang ditulis Malcolm Gladwell dalam bukunya Tipping Point.

Kabar burung atau rumor kini menjadi santapan keseharian dan bahkan kini menjadi komoditas yang laku di tv. Ironisnya, sebuah kabar burung terkadang menjadi landasan pengambilan keputusan atau pengambilan kesimpulan terhadap suatu persoalan. Dan hasilnya sudah bisa dipastikan akan kemana arahnya.

***

Ketika membaca status-status yang berseliweran di akun facebook saya, saya membaca tautan yang cukup menarik yang diposting oleh Fadjroel Rahman. Anda yang suka nonton acara diskusi politik di tv pasti mengenalnya. Jelas ini bukan tautan biasa kalau diposting oleh seorang Fadjroel Rahman, apalagi isi tautan ini terkait seorang tokoh sastrawan yang cukup saya kenal baik-baik karya dan kiprahnya: Taufik Ismail. Posting tautan pertama berjudul : Plagiatkah Puisi "Kerendahan Hati" Taufik Ismail? Yang berisi berita tuduhan upaya plagiarisme oleh Taufik Ismail atas puisi, yang ‘katanya’ ditulis olehnya berjudul "Kerendahan Hati". Tautan kedua ternyata adalah perkembangan dari berita pertama dimana pada berita kedua ini terdapat klarifikasi baik dari pihak TI yang diwakili oleh Fadly Zon serta dari pihak yang dinilai pertama kali ‘memperbincangkan secara serius’ tuduhan itu di statusnya di facebook. Berita kedua ini berjudul ”Fadly Zon: Puisi ‘Kerendahan Hati’ Bukan Karya Taufik Ismail (TI).” Saya juga membaca berita di Harian Rakyat Merdeka Online judul yang cukup provokatif: Puisi Taufik Ismail Hasil Contekan?"

1301869759669377292
1301869759669377292
Sumber: http://www.rakyatmerdekaonline.com

Awalnya, ketika hanya membaca judulnya, sebagaimana yang biasa kita lakukan, otak saya secara cepat berkesimpulan bahwa Fadli Zon adalah pihak yang ‘mungkin' berseberangan dengan TI, sebuah kesimpulan sekejap (snap judgmen) yang terbukti salah, dan yang terjadi adalah sebaliknya, justru kemudian, setelah membaca informasi itu dengan saksama saya mengetahui bahwa FZ justru adalah orang yang membela kepentingan TI.

Yang juga cukup menggelitik saya untuk mengetahui lebih jauh adalah adanya kutipan dua orang sastrawan, yang kemungkinan diambil dari twitter keduanya: Helvi Tyana Rosa dan Saut Situmorang. Pedoman News menulis: sastrawati @Helvy Tyana Rosa, penulis 40 buku lebih dan dosen di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), di twitternya, "Saya sudah baca puisi-puisi itu. Menurut hemat saya Taufiq Ismail hanya terinspirasi saja." Urai Helvy lebih jauh, "Sebagaimana saya tahu Chairil Anwar juga demikian. Pengaruh atau terinspirasi." Memang ada suara keras seperti suara Saut Situmorang di akunnya @RedBodhisattva, "Kalok tak bisa jadi Douglas Malloch/ jangan lah pulak awak jatuh jadi Taufiq Ismail." Ini berita besar, atau kalau bisa dikatakan tuduhan besar. Karena keingintahuan yang besar, karena menurutku TI bukanlah orang biasa, ia sejenis santo bagi dunia sastra Indonesia, maka saya pun menelusuri ‘apa sebenarnya yang terjadi', dan saya pun menggunakan fasilitas om google untuk mencari sebuah nama yang sepertinya penting dalam berita itu: Bramantyo Prijosusilo. Awalnya saya hanya mengetik nama Bramantyo, dan yang justru muncul adalah nama sutradara film, dan sepertinya tidak memiliki keterakaitan dengan apa yang saya cari. Lalu saya menambahkan nama Bramantyo Prijosusilo, dan muncullah akun facebook nama yang saya cari. Saya pun mencari sebuah status yang relevan, dan memang ada dua status yang relevan dengan diskusi tentang TI. Saya membaca keduanya, dan kemudian semuanya menjadi jelas.

Status pertama tertanggal 31 Maret 2011 Rabu pukul 8.34 ,Bramantyo Prijosusilo menulis status di akun facebooknya:

“Khabarkan kepada dunia, penyair jahat Taufiq Ismail yang suka menekan-nekan seniman muda dengan cara-cara selintutan, adalah plagiator tuna-budaya.”

Terus terang saya kaget dengan status ini, yang mengingatkan saya dengan status-status Saut Situmorang dalam ‘perangnya’ dengan Goenawan Moehamad, cs beberapa bulan yang lalu.


[caption id="attachment_99521" align="aligncenter" width="538" caption="sumber: http://www.facebook.com/bramantyo.prijosusilo"]

130187094525448743
130187094525448743
[/caption]

Selain itu, status ini tentulah status yang menarik karena kemudian memicu polemik yang panjang dimana tercatat 102 komentar dari 42 orang yang menyatakan menyukainya. Membaca status-status yang panjang ini bisa dibayangkan bahwa sebagian besar komentator adalah orang yang pro atau mendukung kebenaran yang disampaikan status tersebut. Yang menentang atau yang mencoba mengklarifikasi hanyalah satu orang yaitu Fadli Zon, yang kebetulan, memang, memiliki kepentingan tersendiri atas segala tuduhan yang disampaikan dalam status tersebut. Selain itu terdapat Sang Hardi, yang awalnya ikut terpancing, namun kemudian mengubah perspektifnya. Dan terdapat beberapa pengunjung atau pengamat sekilas yang kemungkinan mengikuti perkembangan komentar-komentar yang ada.

Jika membaca secara detil isi komentar-komentar dalam status tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa status ini bermula dari Bramantyo Prijosusilo, si pemilik status, mendengar atau tepatnya membaca rumor bahwa salah satu puisi yang oleh sebagian besar orang diakui sebagai karya Taufik Ismail berjudul 'Kerendahan Hati' adalah puisi jiplakan (plagiat) dari karya seorang penyair klasik asal Amerika Serikat, Douglas Malloch, "Be the Best of Whatever You Are" karya sastrawan Amerika Serikat, Douglas Malloch.

Bramantyo Prijosusilo memang kemudian menyertakan sejumlah link website dimana ia memperoleh informasi perihal plagiarisme yang dilakukan oleh penyair Taufik Ismail, lengkap dengan lampiran puisi "kerendahan hati" dan "Be the Best of Whatever You Are", untuk menguatkan tuduhannya bahwa memang itu adalah sebuah upaya penjiplakan.

Ia juga melakukan perbandingan dengan menulis kedua puisi tersebut:

Kerendahan Hati Oleh Taufiq Ismail Kalau engkau tak mampu menjadi beringin yang tegak di puncak bukit Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik, yang tumbuh di tepi danau. Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar, Jadilah saja rumput, tetapi rumput yangmemperkuat tanggul pinggiran jalan. Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya Jadilah saja jalan kecil, Tetapi jalan setapak yang Membawa orang ke mata air Tidaklah semua menjadi kapten tentu harus ada awak kapalnya.... Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi rendahnya nilai dirimu Jadilah saja dirimu.... Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri.

Be the Best of Whatever You Are By Douglas Malloch If you can't be a pine on the top of the hill, Be a scrub in the valley - but be The best little scrub by the side of the rill; Be a bush if you can't be a tree. If you can't be a bush be a bit of the grass, And some highway happier make; If you can't be a muskie then just be a bass - But the liveliest bass in the lake! We can't all be captains, we've got to be crew, There's something for all of us here, There's big work to do, and there's lesser to do, And the task you must do is the near. If you can't be a highway then just be a trail, If you can't be the sun be a star; It isn't by size that you win or you fail - Be the best of whatever you are!

Coba perbandingkan kedua puisi di atas, dan siapapun yang membacanya akan mengambil kesimpulan yang sama: ada plagiarisme di sini. Tapi apa sesederhana itu persoalannya?

Saya juga tak lupa membaca tanggapan pembaca di media yang disarankan oleh BP. Salah seorang pembaca berinisial Win menulis di sebuah media menulis:

"Kalau menyimaki kedua karya puisi tersebut. Tidak disangsikan Taufik menjiplak Douglas Malloch. Aku sendiri engga pernah bersimpati pada sastrawan/budayawan yang satu ini. Ada kesan kepalsuan!Maaf saja kalau opini saya ini bersebrangan dengan kebanyakan orang."

Mengapa polemik di facebook dan pemberitaan media ini menjadi penting untuk disimak?

Pertama dan terpenting adalah, Taufik Ismail adalah seorang tokoh sastrawan besar yang apabila tuduhan itu terbukti maka akan menjadi tsunami bagi kesusastraan Indonesia, karena meskipun sejumlah sastrawan besar seperti halnya Chairal Anwar sebelumnya pernah dituding plagiat, namun apa yang dilakukan TI (jika ia benar-benar melakukannya) jauh lebih besar dari semua yang pernah ada. Selain itu, TI saat ini adalah salah satu ikon sastra di indonesia, terlepas dari banyak pula orang atau kelompok yang berseberangan dengannya dari segi ideologi dan genre sastra. Pertanyaannya, apakah memang TI melakukan plagiarisme?

Kedua, apakah tuduhan BP yang sangat keras ini berdiri sendiri sebagai sebuah bentuk kritik jernih atau memiliki konstruksi yang lebih rumit dari apa yang tampak di permukaan?

Ketiga, sejauhmana media bisa diandalkan sebagai penyampai berita yang andal, yang dapat memberi berita yang 'benar' dari segi meodologi pencarian informasi ataupun penyusunan berita.

Dan keempat adalah bagaimana audiance seharusnya bereaksi atas beragam informasi yang tak lengkap, yang jumlahnya tak terkira di dunia maya ataupun dunia realitas?

Kembali ke laptop. Jika kita membaca status BP beserta komentar-komentarnya atas berbagai komentar tamu, terlihat bahwa sebelum menulis status tersebut, BP sebenarnya telah memiliki preferensi atau penilaian tersendiri atas TI. Oleh BP cs TI dituduh sebagai sastrawan yang suka 'menekan-nekan' sastrawan muda serta terhadap ideologi TI yang berseberangan dengan LEKRA. Adanya selentingan informasi yang tampaknya menunjukkan 'sisi buruk' dari seorang TI (plagiarisme adalah kiamat bagi seorang penulis) seakan menegaskan bahwa TI tak kalah buruknya atau malah justru lebih buruk dari sastrawan yang dikritiknya (dicontohkan salah satunya penilaian TI terhadap Ayu Utami sebagai 'sastra selangkangan').

Simak isi salah satu komentar BP di awal-awal diskusi:

"Aku gak sukanya dengan dia karenal, dendamnya terhadap LEKRA dan upayanya mengerahkan Kelompok Salah Paham untuk menyerang penulis muda macam Ayu Utami yang dicemoohnya sebagai 'sastra selangkangan' ... Diskusi soal Bumi Tarung yang dihadiri Om Hardi kemarin di HB Jassin, juga dia upayakan gagal, karena sirik.

Pada komentar sebelumnya ia menulis:

"Dia jiplak jadi berjudul "Kerendahan Hati" dan jiplakan ini merupakan salah satu "karya" terbaiknya. Biasa, seniman jahat yang suka menekan-nekan seniman lain yang lebih kreatif, umumnya nggembol tai."

Pernyataan dari awal BP terhadap sosok TI sudah menunjukkan bahwa telah ada penilaian tersendiri BP terhadap TI yang bersifat negatif, sehingga apapun berita miring tentang TI adalah informasi yang sangat berarti dan membenarkan penilaian atau keyakinannya. Dalam kondisi ini biasanya kita cenderung abai dan curiga pada kemungkinan-kemungkinan bukti-bukti lain yang berseberangan dengan apa yang kita yakini. Kita menjadi irasional justru di saat kita merasa bertindak rasional. Kecurigaan terhadap kebohongan TI dikuatkan dengan isi pemberitaan Harian Merdeka yang berjudul "Belum Mau Komentar, Taufik Ismail Minta Waktu Pelajari Karya Douglas Malloch," dimana dalam berita itu dijelaskan bahwa TI tidak secara tegas membantah adanya tuduhan tersebut. TI dikutip menjawab:

"Saya tidak mengikuti (polemik ini di dunia maya). Saya belum akan memberikan komentar. Dan saya harus mempelajari betul," ujar Taufik Ismail saat dihubungi Rakyat Merdeka Online, Kamis malam (31/3).

Ketidaktegasaan TI ini dimaknai sebagai sebuah bentuk kepanikan atau malah upaya untuk menghindar. TI dinilai seharusnya memberi klarifikasi secara tegas atau sejak dulu telah mengklarifikasi bahwa puisi 'kerendahan hati' tersebut. Bukan hanya BP yang menilai demikian namun sejumlah komentator lainnya juga.

Apa yang terjadi kemudian? Bisa dibayangkan bahwa komentar-komentar yang kemudian bermunculan secara serempak 'mengamini' apa yang dikatakan BP dalam statusnya. Setitik informasi itu tiba-tiba menjadi sebuah kebenaran mutlak dan semakin mengokohkan keyakinan para penentang TI bahwa TI tidak lebih seorang plagiator yang jahat namun sok suci. Bahkan komentar-komentar pun secara berurutan sudah berbunyi penghujatan dibanding sebuah kritik. Coba simak sejumlah tanggapan komentator berikut:

Seorang komentator berinisial OL menulis:

Hahahaha sdh kuduga...! Kalo baca puisi bergaya sok nangis2 (sok penjiwaan).........hahahah lucu juga tuh..

Ada juga berinisial HG menulis: terjemahan nih...!!! Payah plagiator gini kok bisa ngetop?

Senada sebelumnya, NP menulis:

waduh, payah juga nih. Emang suruh tobat aja tuh jd penyair yg suka mewek, pantesnya jd ustad di kampung aja. Aku jadi kaget baca tulisan martin adela, soal main tlikung itu.

OL kembali menulis:

Apalg lagaknya SOK SUCI,SOK SENIMAN BESAR, sok sensitif sandiwara 'air mata buaya'.......hahahahaha.....lucunya pdhal cuma PLAGIATOR.........

Seorang lagi berinisial ANB mencoba semakin meyakinkan:

..mgkn lirik salah satu lagu kami ketika msh di band "Undetected Grim Duties" (1997) cocok buatnya.. " BANGSAT OKNUM SENI " omongmu tinggi, gak ada bukti, mengaku hebat, ...ternyata bangsat !! ..kicaumu, akumu, senimu.. matamu !!

OL lagi-lagi menambahkan: Saya maluuuuu..............,kalo Taufik Ismail org Jepang,mgk skr uda bunuh diri........ngeeeeek....matilah tukang contek...............kukira dulu dia seniman.....

Ada juga berinisial NW menulis: Padahal puisine apik..jebule mak busss..padahal kalau merendahkan hati mengaku bahwa itu karya saduran,toh tak ada sesuatu yang hilang....originalitas dalam karya memang DNA yo,mas....coba nek ngene apa kita tidak berpikiran jelek...jangan2 karyanya yang lain juga...

Ada ungkapan kecewa dari AMTS: Bram, nggak percaya saya sama mata saya ngelihat ini. Dulunya, saya kira dia itu kayak PKS, suci murni bersih karena itu saya anggap fair dan adil waktu dia menggempur PAT ... Kalo nggak salah, setelah Orde Babi tumbang, TI juga mempelopori penggempuran terhadap sastrawati yang sering disebut "Sastra Wangi" itu. Gempurannya sangat sexist.

OL kembali menyambut: ‎@AMTS; sastra wangi d gempur sastra BUSUK.......hahahahaha skr ketauan bau busuk......nya.......apa perlu d sebar d TIM ?????? Krn d TIM si plagiator itu spt NAbi...............

MW menulis:

Mungkin TI nggak nyangka kalau akan ada internet jadi anak-anak muda bisa mencari aslinya :). Atau lebih parah, dia nggak menyangka kalau generasi di bawahnya ada yang akan peduli dan/atau punya wawasan dengan puisi-puisi yang lebih tua. Dipikirnya kita bodoh mungkin.

BP beberapa kali ikut mengomentari komentar-komentar yang ada. Hanya beberapa komentar penting yang akan saya tunjukkan di sini, salah saytunya:

"njiplaknya bukan baru sekarang lho, sajak "Kerendahan Hati" ini banyak dikutip dan didakwahkan ke mana-mana oleh penggemarnya. Seseorang memberitau aku bahwa dia njiplak dan karena aku sebel dengan kelakuan dia nggencet-...ngencet LEKRA, bahkan terakhir orang-orang eks Bumi Tarung yang sudah sepuh-sepuh juga mau dikerjainya ... jadi kuumumkan sebisaku bahwa muka pantat satu ini memang otak kurap. Odji Lirungan, aku gak tau, mungkin ada yang bisa mediasi ke dia supaya dia punya kesempatan memperkecil kemaluannya?

Ada juga yang berinisial SD menulis: TI itu pernah ketemu saya th 81an ketika masih mimpin LPKJ...dulu di Jkt saya sangat menghormat ketika itu membawa mhs saya sekitar kampus LPKJ membaca puisi dan menyemangati yg muda...ee lama-lama kok makin tua kok koyo anggota front pembela ya...apa makin tua senimannya luntur....toleransi dg yg bukan seiman...dg seniman muda lalu kurang dan sirna.....?

Jika membaca komentar-komentar di atas maka terlihat bahwa sebagain besar komentator-komentator, yang kemungkinan besar dekat secara pribadi dengan BP, memang adalah orang-orang yang berseberangan dengan TI atau malah orang-orang yang secara ideologi merasa tertindas dengan tindak-tanduk TI yang dinilai tidak menghargai sastrawan-sastrawan kontemporer dan juga menolak keberadaan LEKRA. Anda bisa lihat betapa komentator-komentator itu saling sambut menyambut tanpa ada seorang pun melakukan interupsi, sehingga bisa dibayangkan aliran informasi yang berkembang semakin jauh dari subtansi yang sebenarnya. Bahkan sudah mengarah pada sisi pribadi BP.

Jika kembali ke sejarah kesusastraan Indonesia, khususnya pasca runtuhnya Orde Lama, para sastrawan yang tergabung dengan LEKRA memang mendapat penentangan yang luar biasa dari pihak-pihak yang justru pada masa sebelumnya menilai dirinya adalah pihak yang tertindas oleh LEKRA yang oleh LEKRA sendiri dijuluki MANIKEBU atau Manifesto Kebudayaan yang salah satu tokohnya adalah HB Jassin. Para sastrawan LEKRA adalah penganut apa yang dinamakan sastra Realisme atau Realisme Sosial yang menjadi genre sastra dominan di negara-negara berfaham komunis.

Realisme sosialis, menurut kubu Lekra, meletakkan "kenyataan dan kebenaran" yang lahir dari "pertentangan-pertentangan yang berlaku di dalam masyarakat maupun di dalam hati manusia" sebagai dasar material kesenian. Dari situ, akan terlihat sejumlah gerak maju dan "hari depan" manusia. Dengan demikian, berlaku kesimpulan bahwa "seni untuk rakyat". Di Indonesia, realisme sosialis dikembangkan oleh Lekra atas dasar keberpihakan kepada rakyat daripada atas logika marxisme. Kedekatan realisme sosialis dengan marxisme terletak pada semangat, kesamaan perjuangan, dan pilihan hidup. Tidak terbukti bahwa hubungan keduanya merupakan hubungan organisatoris meskipun banyak anggota Lekra juga anggota PKI.

Konon di masa jayanya LEKRA secara 'sewenang-wenang' membakar buku-buku yang dianggap tidak sejalan dengan konsep sastra yang diyakininya, yaitu realisme sosial itu. Namun, pada masa ORDE BARU adalah masa suram bagi LEKRA. Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan terkemuka LEKRA diasingkan ke Pulau Buru bersama buangan komunis lainnya. Semua karya-karyanya 'haram' untuk dipublikasikan dan dibaca, meskipun kemudian menjadi bacaan wajib para aktivis pro-demokrasi di era Orde Baru. TI sendiri dinilai sebagai salah seorang sastrawan yang ikut memberi andil dalam pemberangusan LEKRA dengan bukunya "Prahara Budaya" yang dinilai sangat menyerangan sastrawan LEKRA.

***

Kembali ke laptop. Hal yang menarik kemudian dalam komentar status tersebut adalah kemunculan Hardi, salah seorang pelukis yang cukup kondang, yang menggunakan nama Sang Hardi (SH) yang dalam komentar awalnya menulis: kaget saya ..baca syair pak douglash malloch.

Bisa disimpulkan bahwa, pada awal komentarnya, SH pun, sebagaimana komentator lainnya bereaksi 'positif' berdasarkan 'sedikit' informasi yang diterimanya. Ia menyatakan kaget kemungkinan karena secara pribadi ia kenal dengan sosok TI yang jauh dari apa yang dituduhkan (Ini akan terlihat pada komentarnya kemudian). Reaksi SH adalah hal yang wajar dan biasa kita dapatkan ketika mendengar sebuah kejadian atau informasi yang tidak masuk akal bagi kita. Kita akan mencari informasi-informasi yang relevan, meski sedikit. Mengecek kebenaran fokus pada apa yang dipermasalahkan. Kita mengalami apa yang Malcolm Gladwell istilahkan sebagai autis ringan, dimana kita abai pada hal-hal selain pada yang sedang kita fokus terhadapnya. Hal ini pun kira-kira yang dialami oleh Helvy Tyana Rosa ataupun Saut Situmorang (?) dan sejumlah orang lainnya, dan termasuk saya pada awalnya.

Kehadiran SH berkomentar dalam status ini awalnya bahkan sepertinya dianggap sebagai sesuatu yang ditunggu-tunggu. Dengan adanya komentar SH, yang diharapkan akan bereaksi sama dengan yang lainnya, akan semakin meneguhkan keyakinan para komentator-komentator lain yang telah apriori atas diri TI. Apalagi kemudian SH menulis:

"waaaah aku dipancing ben komentarrrr hahaha ....sudah saya usut ...itu memang puisi TI. tapi TI ndak tahu kalau ada puisi pak douglas malloch... kalau ditelisik memang itu terjemahan persis ...nyaris kayak kata2 mutiara . puisi doglas itu di bukunya apa ? brkli bisa download kalau sumbernya jelas ..."

Nah, SH menyatakan sudah mengusutnya dan untuk sementara ia pun berkesimpulan bahwa kemungkinan informasi itu benar adanya. Setidaknya SH memberi keyakinan bahwa puisi tersebut memang puisi TI, hanya saja 'TI ndak tahu kalau ada puisi pak douglas malloch...'

SH telah melakukan klarifikasi adanya kebenaran dalam rumor itu, meskipun terdapat informasi yang membingungkan bahwa 'TI ndak tahu kalau ada puisi pak douglas malloch...'. Ini akan menimbulkan pertanyaan bagi siapa pun, kalau isi atau makna puisi tersebut identik atau memiliki banyak kemiripan, kenapa TI tidak menyadarinya? Apakah itu suatu kebetulan (yang kemungkinannya sangat kecil)? Atau TI sedang berdalih membela dirinya? Kita bisa mengasumsikan bagaimana tanggapan BP dan komentator-komentator lainnya akan hal ini.

Ada dua (fakta?) yang ingin disampaikan MH: 1) puisi itu memang diakui sebagai karya TI; 2) TI tidak menyadari bahwa itu juga puisi terjemahan dari karya douglas malloch..

Informasi di atas memang akan sangat membingungkan logika kita. Dan dengan adanya kesimpangsiuaran ini maka siapapun akan bisa menyimpulkan bahwa memang ada suatu masalah dalam kasus ini.

Setelah sekian lama, komentar-komentar ini saling bersambut, maka kemudian muncullah interupsi Fadli Zon, yang memang memiliki kepentingan besar atas berbagai tuduhan dalam status dan komentar-komentar di atas. Pertama, dalam kapasitasnya sebagai Ketua Panitia 55 tahun Taufik Ismail berkarya pada tahun 2008 lalu, serta kedekatan pribadi FS dengan TI. FZ menulis cukup panjang di awal komentarnya:

"Mas Hardi dkk. Saya perlu sedikit komentar. Saya kebetulan Ketua Panitia 55 Tahun Taufiq Ismail berkarya tahun 2008. Kami terbitkan 4 buku besar karya-karya Taufiq Ismail (TI) "Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit". Buku pertama adalah buk...u puisi setebal 1076 halaman. Itu semua adalah kumpulan puisi TI dari tahun 1953-2008. Setelah saya periksa tak ada puisi "Kerendahan Hati." Setahu saya TI memang menerjemahkan juga puisi 160 penyair Amerika yang dikumpulkan dalam "Rerumputan Dedaunan" yang belum diterbitkan. Paling banyak puisi Walt Whitman. Tapi puisi Malloch tak pernah diklaim puisi TI. Jika ada referensi mohon bisa ditunjukkan di buku mana TI mengaku puisi itu adalah miliknya. Puisi Malloch itu paling sering dikutip oleh Martin Luther King (MLK) dalam pidato2nya. Malah orang menyebutnya puisi itu karya MLK."

BP bergeming dengan komentar FZ, yang kemudian membalas:

Bung Fadli Zon, perkara ini sudah cukup lama beredar di internet,( http://www.jendelasastra.com/karya/puisi/kerendahan-hati-puisi-oleh-taufik-ismail) dan kalau saya tak salah memahami posting Om Hardi di atas, Taufiq Ismail sudah mengakui p...uisi ini miliknya. Menilik banyaknya laman di internet yang menyebut "Kerendahan Hati" ini karya dia, serta pengakuan dia ke Om Hardi, saya kira cukup kuatlah dugaan PLAGIATOR dicanangkan...Apalagi mengingat sepak terjang TI penuh dendam benci terhadap LEKRA dan penilaian sok moralis terhadap satrawan muda yang lebih kreatif darinya: Ayu Utami dan Jenar Mahesa Ayu dan sejenis mereka...maka biasanya berlaku pepatah Jawa moyok nemplok gething nyanding. Laporan Martin Aleida tentang kelakuan dia berusaha menggagalkan diskusi Bumi Tarung di HB Jassin kemarin juga bikin eneg.

FZ membalas:

Bung Bramantyo. Barusan saya telpon TI, menyampaikan masalah ini. Jawabannya, ia tak pernah mengklaim puisi "Kerendahan Hati." Ia juga sedang cari di file, sementara belum ada. Di kumpulan karya terjemahan "Rerumputan Dedaunan" juga tak a...da puisi tersebut. Jadi TI belum tahu puisinya yang mana. Ia mengatakan rasanya pernah membahas puisi itu atau menerjemahkan puisi itu dalam kegiatan SBSB atau MMAS di sekolah2. Kalau itu puisi terbaiknya, tentu ada di buku yang saya terbitkan. Di internet, tak ada data yang jelas. Bahkan penulisan namanya pun salah Taufik bukan Taufiq. Mungkin ada info atau sumber yang lebih tajam, yang menyatakan bahwa TI memang menulis puisi itu? Kalau tidak ada, polemik ini menjadi pepesan kosong.

BPkembali mencoba mempertahankan keyakinannya dengan mencoba menyajikan fakta baru, yang menurutnya kemungkinan bisa semakin meneguhkan pendapatnya:

Mungkin laman ini lebih genah : http://pluzone.com/puisi/category/taufiq-ismail/page/2 ... Ejaan namanya paling tidak betul, dan sekilas nampaknya laman ini cukup sahih.

FZ menjawab (saya mengenal gaya bicara FZ yang tenang dan terstruktur pada Pilpres lalu, sehingga saya membayangkan bagaimana ia menjawab hal ini ketika disampaikan secara lisan):

Bung Bramantyo, saya sudah search di dunia maya dan belum ketemu sumber yang sahih soal klaim puisi Taufiq Ismail itu. Kelihatannya ada orang yang mem-posting puisi dan menulisnya karya Taufik Ismail. Kemudian dikutip di sana sini. Biasalah salah paham. Puisi "Tuhan" yang dinyanyikan Bimbo juga sering orang tulis karya TI, tapi beberapa kali TI mengoreksi bahwa itu karya Sam Bimbo. Kecuali ada sumber lain yang solid dan jelas, baru kita bisa lanjutkan diskusi ini.

FZ kembali menulis:

Saya sudah baca : http://pluzone.com/puisi/category/taufiq-ismail/page/2 .... Tidak jelas sumbernya atau siapa yang mengirimkannya.

Mungkin ada artikel, atau buku yang pernah menuliskan ini? Saya sudah susuri semua buku puisi TI, tak ada puisi ini. Juga tak ada di majalah-majalah atau koran yang memuat puisi.

FZ kemudian menjelaskan, dan ini semakin menegaskan bagaimana ia terlibat dalam polemik di status BP. SH lah yang menjadi penghubung ketika mencoba melakukan klarifikasi pada TI:

Infonya Mas Hardi tadi dari saya ketika ditelpon. Mungkin saya yang kurang tepat menyampaikannya. Karena infonya belum utuh. Saya telpon TI di tengah rapat, selintas saja, karena saya juga belum buka FB diskusi ini. Juga belum tahu isi puis...inya dst. Setelah saya bacakan puisinya, itulah jawaban TI di atas. Juga TI mencek di file puisi2nya. Untuk diketahui semua puisi TI sdh didata dengan baik untuk keperluan buku yang saya Ketua Panitianya. Kemudian seluruh puisi TI sudah diterjemahkan oleh alm Prof Amin Sweeney ke dalam bahasa Inggris. Terjemahan berikutnya oleh seorang penyair lain ke dalam bahasa Arab. Dari database itu tak diketemukan puisi "Kerendahan Hati". Puisi2 terjemahan itu akan diterbitkan dalam waktu dekat tahun ini.

FZ memberikan dalil lain untuk mencoba mengokohkan posisinya:

Juga di kumpulan karya terjemahan "Rerumputan Dedaunan" ternyata tak ada Douglas Malloch. Tadinya saya menduga, karya Malloch ini diambil dari bagian karya terjemahan. Ternyata tak ada juga. Jadi bagaimana dong, kalau sumbernya saja tidak jelas?

BP, yang kemungkinan mulai ragu dengan informasi kemudian menjawab:

Belum jelas. Saya sedang menghubungi laman yang saya link di atas nanya mereka dapet sajak itu dari mana. Tidur dulu ya ... selamat malam.

Muncul seorang dengan inisial MA mencoba memberi dukungan pada BP:

http://khairilanwar.wordpress.com/2007/09/25/taufik-ismail-kerendahan-hati/ ini web dr thn 2007 dan semua orang bilang ini karyanya taufik ismail. klo taufik ismail jujur, seharusnya dia dr dl bilang ini bukan karyanya....

Balas FZ kembali menegaskan apa yang sudah dikatakan sebelumnya:

@Muhammad Amin: saya juga sudah baca tadi. Tetap saja pengirimnya tak jelas dan sumbernya dari mana tidak jelas. Siapapun bisa posting apa saja dengan cara itu.

MA mencoba mengintimidasi dan mengalihkan topik ke hal lain:

Sebenarnya klo memang plagiat, mending ngaku saja. Toh sebagian besar karyanya kan ga plagiat, tp ya mbok jangan menekan2 sastra progresif. Klo pun ga plagiat, segera konfirmasi dng menunjukkan semua buku2nya dan membuktikan klo mmg ga plagiat. Ini menyangkut tokoh sastra yg dijadikan panutan, jd kejujuran adalah emas disini ;))

Jawaban FZ cukup diplomatis dan inilah yang menurut saya komentar yang paling penting dalam polemik ini:

Wah kalau itu dua hal berbeda. Tuduhan plagiat adalah tuduhan serius dan bisa menjadi kematian perdata bagi penulis. Oleh karena itu harus dibuktikan dimana plagiatnya. Dan ini tak ada hubungannya dengan sastra progresif. Mari kita fokus pada tuduhan yang serius itu. Benarkah TI melakukan plagiat?

MA sepertinya bergeming yang lalu menawarkan sebuah solusi:

Nah, berhubung Mas Fadli Zon dekat dng TI, coba tanya langsung saja subuh ini ;) . Ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi generasi muda dan sastrawan, tentang sikap ksatria dan jujur dlm hal apapun. Plagiat memang masalah serius, tapi bukan berarti kematian seorang sastrawan, sekali lagi krn sebagian besar karyanya bukan hasil plagiat.Semoga TI bs jujur menjawabnya....

Balasan FZ mencoba menjelaskan integritas dirinya khususnya pada kasus plagiarisme:

Saya pernah membongkar kasus plagiat yang dilakukan seorang intelektual UI tahun 1997 sehingga batal menjadi profesor selama 10 tahun lebih. Dulu ramai polemik di koran. Sampai ada pengadilan akademik dipimpin oleh rektor UI. Dan terbukti a...danya plagiat itu. Nah apakah kawan2 yang menuduh plagiat ini berani meneruskan ke ranah publik yang lebih luas. Jika memang punya bukti kuat, kenapa tak diluncurkan saja? Sampai saat ini saya yakin 100% dalam hal berkarya, TI jujur. Soal sikap kesenian dan kebudayaan, tentu bisa berbeda2. Zamannya kan juga berbeda.

MA sepertinya masih ragu dan mencoba mengemukakan argumen lain:

Yg aneh bagi saya adalah puisi ini sudah cukup lama tersebar dan diakui publik sebagai karya TI. Seharusnya TI menyangkalnya dari dulu (dng asumsi dia tahu). Klopun tidak tahu, sekarang kan dia tahu, jadi lebih baik segera konfirmasi. Beban... pembuktian bagi yg menuduh dia plagiat memang juga harus ditagih, tp butuh waktu kan menelusuri karyanya satu persatu, jalan yg lebih singkat adalah konfirmasi dari TI sendiri. Nah Mas Fadli Zon memfasilitasi dong ;)) klo ternyata mengaku plagiat, selesai perkara. klo tidak, ya yg menuduh punya tanggung jawab membuktikan lebih jauh. Win-win solution kan

Jawaban FZ:

Jawaban TI tadi sdh ada di atas. Saya saja sebagai Ketua Panitia 55 Tahun TI berkarya tidak pernah tahu karya TI itu. Tidak pernah dengar juga TI membacakannya. Padahal hampir di setiap pembacaan puisi TI saya selalu hadir. Demikian pula tak ada di buku kumpulan puisinya yang 1076 halaman itu. Untuk konfirmasi lengkapnya besok Kamis saya kirimkan print out thread diskusi ini kepada TI.

FZ kemudian juga sangat mengesankan:

Bukankah di dalam hukum kita, yang menuduh yang harus membuktikan?

MA:

ok mantab Mas. Walaupun sastra saya bukan sastra religius, tapi saya sering baca karya2 TI, Asma Nadia, dsb. Pertarungan sastra harus tetap terjadi ke depannya, asal jangan saling anihilisasi. Dan sepakat, pihak penuduh memang harus membuktikan, walaupun butuh waktu untuk meneliti satu persatu bukunya TI. Saya coba hubungi KITLV Leiden dan semoga semua bukunya ada disana. Temen2 yg di Indo harus cek jg di Gramedia atau Perpustakaan Nasional. Mas Fadli ada semua bukunya ga? kasih aja ke temen2 di Indonesia biar diteliti.

Ini yang menarik ketika SH kemudian muncul, seperti meralat apa yang sudah dikatakan sebelumnya. Ia menulis:

dari awal saya tak yakin kalau TI sengaja memplagiat ....hanya untuk sebuah puisi ....karena saya kenal beliau serta dedikasinya .lepas dari setuju atau tidak atas sikap yng diambil terhadap lekra dll,masing2 orang boleh punya sikap.. disk...usi di hb yasin yng lalu dimana saya sbg pembicara ,juga bukan diskusi serius dan berbobot . penyelenggara asal2 an ,waktu molor 1 jam ,eks lekra yng sukses justru dipelihara kapitalis untuk beli lukisannya . malah mas pekik hrg nya 1 m dengan bangga. di paper saya yng diminta panitia ( tanpa diberi honor ),juga saya lontarkan kritik.....tak lebih dari nostaldia (walaupun mengharukan)..tanya saja mas odji lirungan ,btp kecewa saya ...seringkala kita menilai orang dari prasangka prasangka ...dan ingin menang sendiri ..gitu komenku .

Bisa diperkirakan, perlahan SH telah mulai faham dengan kondisi yang sebenarnya karena informasi yang diperolehnya pun semakin banyak, dan informasi itu tidak lagi sepihak atau dari sumber yang sama. Hal yang sama kemungkinan disadari juga oleh komentator-komentator lainnya karena semakin sedikit yang berkomentar setekah mendapat penjelasan klarifikasi dari FZ.

Ada juga pengamat luar yang sepertinya mengikuti dari awal namun baru berani berkomentar belakangan (BES):

ya ya ya.. orang awam kayak saya sudah mampu nilai dari rangkaian komen di atas; mana asbun, mana asplak..

FZ mencoba menguatkan posisinya dan posisi TI:

Tadi Pak TI datang ke perpustakaan saya, dan mengkonfirmasi langsung bahwa puisi itu bukan karya TI. Jadi sudah cukup jelas.

Ini lebih menarik lagi tanggapan dari SH:

saya di kalangan seni dikenal tidak pernah memberikan gratis setiap penghinaan...... (krn itu saya banyak dibenci kaum yng sinis ) tadi saya bertemu mas Ti sblm talkshwow di tvri ...tokoh sepuh 70 thn lebih, telah melewati berbagai onak keh...idupan ... saya percaya beliau seniman 24 karat . rumah puisi di bukit tinggi yng disemai ,sdh menjadikan ribuan bocah2 sd ,smp ,sma cinta sastra dan seni .....saya menyaksikan sendiri peristiwa apresiasi ... hojatan yng dilakukan para fb menurutku sangat keterlaluan .... bila saya TI pasti aku tuntut di meja hukum ...

Ini juga pengamat luar kita sebut saja nama lengkapnya Fadjroel Rahman:

saya menyimak dengan hangat diskusi ini bung Hardi, Fadli Zon dan Bramantyo. trims ats infonya yang menarik. GBU

FZ:

Iya dalam waktu dekat TI akan buat pernyataan, mungkin diikuti langkah hukum. Saya kira denga begini kebenaran akan lebih jelas.

BP:

Sepertinya sedikitnya sejak akhir tahun 80an sajak ini diatributkan kepada TI, anak ITB yang kuliah tahun segitu mengatakan ini puisi TI yang paling disukainya. Jadi sebelum internet ... namun, kalau kita searching internet, patut diduga pula ini terjemahan / saduran Soe Hok Gie. Menanyainya gak mungkin lagi.

Jika mencermati di atas terlihat bahwa kehadiran FZ memberikan klarifikasi cukup berpengaruh dalam menurunkan tensi pembicaraan yang awalnya penuh hujatan pada TI. Meskipun kemudian tetap ada bantahan, baik dari BP sebagai pemilik status, maupun komentator-komentator pendukung lainnya, namun FZ secara meyakinkan dapat membantah dengan mencoba mengajak 'para penyerang' untuk berdialog secara cerdas dan jernih dengan masing-masing mengemukakan fakta-fakta yang mereka miliki. Hal ini berbeda ketika polemik yang sama di status Saut Situmorang terkait Goenawan Moehammad cs. Tak ada letupan-letupan emosi dari FZ meskipun mendapat cecaran tuntutan dari para penyerangnya. Meskipun kemudian dapat terlihat bahwa FZ sedikit 'memenangkan' pertarungan ini dengan memberikan fakta-fakta dan mengajak para penyerang untuk membaca kembali fakta-fakta yang mereka yakini sebagai kebenaran hakiki. FZ pun tidak bersifat defensif namun terlihat mengikuti alur emosi penyerangnya dan memperhadapkan mereka pada bukti-bukti mereka sendiri, dan ini adalah pukulan telak bagi penyerangnya. Terlihat kemudian dari pernyataan BP, yang awalnya getol menyanyikan bukti-bukti data yang dimilikinya, yang kemudian terbukti tidak memiliki sumber yang valid. BP misalnya menulis:

Belum jelas. Saya sedang menghubungi laman yang saya link di atas nanya mereka dapet sajak itu dari mana. Tidur dulu ya ... selamat malam.

Ini jawaban BP ketika FZ mempertanyakan kevalidan sumber informasinya. BP pun kemungkinan besar menyadari atau tersadar atas adanya sedikit 'cacat' atas metode pengutipan informasinya dan terlihat ingin menghindari polemik ini. Sikap melunak BP ini terbaca pada komentator terakhirnya, yang juga merupakan komentar terakhir dari statusnya itu dengan mengatakan:

Sepertinya sedikitnya sejak akhir tahun 80an sajak ini diatributkan kepada TI, anak ITB yang kuliah tahun segitu mengatakan ini puisi TI yang paling disukainya. Jadi sebelum internet ... namun, kalau kita searching internet, patut diduga pula ini terjemahan / saduran Soe Hok Gie. Menanyainya gak mungkin lagi.

Saya pun menulusuri profil Soe Hok Gie yang dimaksud BP dan memang pada bagian akhir terdapat satu paragraf yang isinya sama dengan puisi berjudul "kerendahan hati" yang 'katanya' ditulis oleh TI sebagai ciplakan dari puisi Douglas Malloch.

Apa yang kemudian merubah sikap BP yang awalnya begitu menggebu-gebu dan sangat pedas menyerang TI berubah dalam sekejap dengan hadirnya komentar-komentar FZ?

Kemungkinan jawabannya adalah bahwa BP kemudian menyadari bahwa ada yang 'salah' dari metode pengambilan kesimpulan yang dilakukannya berdasarkan pada infomasi yang sangat sedikit (tidak sempurna) dan tidak jelas dan masih bersifat rumor iatau berita burung. Sumber berita yang dia yakini sebagai sumber penyampai kebenaran ternyata tidak mampu memberikan klarifikasi atas berita yang ditulisnya. Preferensi, sikap apriori dan prasangka yang sudah ada di kepalanya tentang TI jelas telah membentuk keyakinannya. Kesalahannya adalah dia tidak melakukan proses pematangan informasi sebelum akhirnya menyampaikan informasi tersebut ke publik. Yang ada di kepalanya pada saat itu adalah bahwa ia telah menemukan 'senjata' yang bisa digunakan untuk menyerang pribadi dan ideologi TI. Meskipun itu tidak dilakukan secara terbuka dengan TI tapi melalui teman-temannya yang sehati di facebook. Jika ia membantah bahwa diskusi facebook hanyalah sebuah keluh kesah antara mereka sendiri, maka jelas bantahan itu akan sangat lemah karena dalam dunia maya seperti halnya facebook batas antara wilayah publik dan pribadi terkadang sangat tipis atau malah tanpa sekat sama sekali. Apa yang kita nilai sebagai ungkapan hati, berpotensi mengahadirkan tuntutan hukum jika kemudian ungkapan itu menyerang dan mencemarkan nama baik orang lain. Sudah banyak kasus yang bisa menjadi contoh.

***

Baik BP maupun sejumlah komentator-komentator lainnya, selama memperdebatkan TI ini tanpa bersumber dari informasi valid dan jelas sebenarnya hanya mengkonsumsi apa yang disebut sebagai rumor atau kabar burung. Rumor bercirikan pada keterbatasan informasi, sumber informasi yang tidak jelas dan sifatnya yang menyebar cepat dan sering mengalami penambahan dan pengurangan. Inilah sifat berusak dari rumor ini, meskipun dalam dunia bisnis strategi ini kerap dilakukan dan dampaknya sangat efektif dalam merubah preferensi atau pilihan konsumen.

Kabar buruk bagi BP bahwa status-status dan komentator-komentatornya itu bisa menjebloskannya ke penjara. Namun bisa juga karena sikap 'berbesar hati' mengakui adanya kekeliruan dalam kesimpulan sekilasnya atas diri TI dengan sumber informasinya yang terbatas. Mungkin alasan kesadaran dan adanya implikasi hukum inilah kemudian yang mendorong BP menulis di statusnya pada hari berikutnya, sekitar pukul 00 1 April 2011, dimana ia menulis:

Taufiq Ismal bilang kepada Fadli Zon bahwa puisi "Kerendahan Hati", terjemahan Karya Douglas Malloch, bukan kerjaan dia. Saya minta maaf telah menjerumuskan Soe Tjen Marching, Chandrasa Sedyaleksana, Antonius Made Tony Supriatma, Odji Lirungan, Kris Budiman dan kawan-kawan soal ini. TI, dalam hal ini, bukan plagiator.

Ini jelas sebuah pengakuan atas kesalahan atau kekeliruan yang dilakukannya, meskipun agak lucu juga dengan kata-kata awalnya, "Taufiq Ismail bilang kepada Fadli Zon bahwa puisi "Kerendahan Hati", terjemahan karya Douglas Malloch, bukan kerjaan dia..." yang berarti bahwa BP tidak mendapat klarifikasi langsung dari TI tapi hanya dari FZ. Padahal sebelumnya BP dan sejumlah komentator justru meminta klarifikasi langsung dari TI ke mereka.

Mungkin juga telah ada kesepakatan antara FZ dan BP terkait hal ini yang tak tersampaikan kepada publik, wallahua'lam. Yang jelas, berapa sering kita mengambil keputusan berdasarkan pada informasi yang sedikit, tidak lengkap dan--lebih parah lagi-masih bersifat rumor atau kabar burung. Masih ingat dengan kejadian guru cina tadi? Hanya karena adanya konteks yang sama, guru Cina tadi bermata sipit dan berkulit kuning, sebagaimana halnya orang Jepang, membawa catatan dan mencari lokasi yang sepertinya strategis, lalu kemudian diambillah kesimpulan bahwa dia adalah mata-mata Jepang.

Menurut Allport, sebagaimana ditulis ulang Gladwell, fakta-fakta sederhana dan gamblang yang dapat menjadi 'sumber kebenaran' dalam kabar burung ini sejak awal justru disimpangkan ke tiga arah. Pertama, keseluruahn cerita diratakan. Artinya semua detil yang diperlukan agar dapat memahami makna kejadian itu sengaja ditinggalkan. Kabar burung itu misalnya sama sekali tidak menyebutkan 'betapa ramah dan sopannya sang pelancong ketika menanyakan arah jalan kepada penduduk setempat; bahwa kebangsaan pelancong itu belum diketahui secara pasti,...juga bahwa pelancong itu tidak merahasiakan dirinya kepada siapapun.

Kemudian cerita itu dipertajam. Detil yang masih ada sengaja dibuat spesifik. Laki-laki itu dipastikan sebagai mata-mata. Karena ia bermata sipit, maka ia langsung dipastikan sebagai orang Jepang. Niatnya untuk menikmati pemandangan langsung diartikan sebagai aktivitas mata-mata. Buku panduan yang dipegangnya dipelintir menjadi kamera. Akhirnya proses selanjutnya adalah asimilasi: kisah tersebut dibuat sedemikian rupa agar lebih masuk akal bagi tukang-tukang gosip.

Bisa anda bandingka ketiga proses ini dengan apa yang terjadi dengan tuduhan terhadap TI?

Hal yang sama juga pernah terjadi di AS, ketika polisi setempat menembak seorang warga secara membabi buta, hanya karena ia berkulit gelap, keluyuran di malam hari di daerah yang dikenal rawan kejahatan dan terlihat panik ketika ditanyai oleh polisi. Terbukti kemudian bahwa korban hanyalah seorang warga baik-baik, yang memang memiliki sifat panikan. Polisi telah salah mengidentifikasi karena mereka telah memiliki prasangka ketika bertindak, mereka telah memiliki sikap apriori pada kelompok masyarakat tertentu. Berapa sering kita melakukan hal yang sama dalam kehidupan keseharian kita? Berapa sering kita mengambil kesimpulan dan keputusan hanya berlandaskan pada prasangka yang dilatari oleh adanya pengalaman negatif dengan orang yang kita sangka telah melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak dilakukannya?

Bagaimana jadinya jika tak ada seorang Fadli Zon, yang dengan riset kecilnya yang serba cepat mampu meyakinkan pada orang lain bahwa ada kesalahan kecil dalam tuduhan itu? Fadli Zon lah yang memberi kejelasan pada kita bahwa puisi itu memang puisi terjemahan, dan di banyak sumber di internet memang banyak yang mencantumkan TI sebagai penulisnya. Dan-ini yang terpenting-TI sendiri telah mengakui bahwa ia sendiri tidak pernah mengakui puisi 'Kerendahan Hati' itu sebagai ciptaannya, orang lainlah yang secara gegabah mencantumkan puisi itu sebagai salah satu karya TI. Tidak hanya dengan klarifikasi langsung dari TI, FZ juga menantang para 'penuduhnya' untuk membuktikan darimana sumber pustaka atau buku-buku yang bisa menunjukkan bahwa karya puisi itu diakui TI sebagai karyanya.

Hal ini yang penting selanjutnya adalah peran media dalam diskursus ini, dimana Harian Rakyat Merdeka menulis judul secara provokatif, "Puisi Taufik Ismail Hasil Contekan?" atau di Pedoman News, "Plagiatkah Puisi Kerendahan Hati Taufik Ismail?" Pedoman News ini mengutip informasi Tempo Interaktif.com: "Masih saya pelajari itu. Saya belum bisa berkomentar tentang itu," ujarnya (TI) saat dihubungi Tempo pada Kamis (31/3) dan Pedoman News mengartikannya "bahwa penyair Taufiq Ismail tak bersedia memberikan komentar apa pun terkait dugaan plagiarisme terhadap puisinya".

Ada kerancuan dalam pemaknaan penolakan TI dengan makna yang ditangkap media sebagai penolakan memberi informasi, yang oleh pembaca bisa saja diartikan sebagai sikap menghindar dari TI, padahal sebagaimana diakui oleh FZ bahwa medialah yang salah mengartikan penolakan itu. Dari kutipan langsung di atas maka sangat jelas bahwa penolakan TI untuk memberikan komentar sebenarnya lebih karena faktor kehati-hatian. Bagaimana seseorang bisa memberi komentar atau tanggapan jika ia sendiri belum memahami persoalan yang sebenarnya. Diakui belakangan oleh FZ bahwa sikap menunda memberi komentar dari TI sebenarnya karena TI memastikan bahwa apakah betul puisi tersebut memang terdapat dalam salah satu bukunya, yang 'kemungkinan' tidak secara sengaja ia masukkan sebagai karyanya, dan pada kenyataannya memang tak ada puisi 'kerendahan hati' dalam salah satu buku-bukunya dan ia sendiri tak pernah mengklaim bahwa puisi itu sebagai puisi karyanya.

Yang terjadi adalah seorang pengagum TI salah mengutip puisi tersebut dan menuliskannya sebagai karya Taufik Ismail dan itu disebarkannya di blognya yang mungkin awalnya lebih bersifat koleksi pribadi. Yang salah adalah orang-orang yang secara membabi-buta mempersoalkannya tanpa dukungan data dan fakta yang jelas dan lebih-lebih lagi dilandasi oleh pereferensi negatif sebelumnya. Sebuah kesalahan yang kemungkinan tidak disadari dan lebih berlandaskan sebagai penilaian sekejap (snap judgment).

Tulisan ini jelas bukan untuk menyalahkan atau untuk menghakimi siapapun. Hanya sekedar memberi pemaknaan dengan apa yang terjadi serta menjelaskan bahayanya keterbatasan informasi yang bila tidak dikelola dengan baik akan malah menyesatkan dan sebagaimana dikatakan oleh Fadli Zon sebagai 'kematian perdata' bagi penulis. Fadli Zon jelas telah mempertontonkan sebuah teknik diplomasi yang 'cantik', yang tidak bersifat defensif namun mengikuti logika-logika penyerangnya dan pada akhirnya menggunakan logika-logika itu sebagai alat serangan balik. Misalnya, ketika seorang komentator meminta pihak TI melakukan klarifikasi, justru FZ berkata: "Bukankah di dalam hukum kita, yang menuduh yang harus membuktikan?"dan ini jelas titik lemah bagi penyerangnya karena mereka sebenarnya tidak memiliki bukti-bukti ataupun dukungan fakta yang kuat.

Terlepas dari 'kebenaran' apapun yang akhirnya terkuak, polemik ini patut mendapat apresiasi bagi kita. Ini menunjukkan sebuah budaya demokrasi yang patutu dihargai, bahwa segala sesuatunya ternyata bisa diselesaikan melalui dialog. Dan dialog itu akan memberi hasil jika masing-masing pihak mau membuka diri, tidak mengikat diri dengan keyakinan-keyakinan yang palsu yang hanya berlandaskan pada kepentingan ego semata. Saya mengagumi gaya diplomasi yang cerdas dari fadli Zon dan sekaligus kerendahan hati Bramantyo untuk mengakui adanya kekeliruan dalam penilaiannya atas Taufik Ismail. Saya sepakat dengan pernyataan Fadjroel Rahman dalam komentarnya yang ringkas namun begitu bermakna: saya menyimak dengan hangat diskusi ini bung Hardi, Fadli Zon dan Bramantyo. trims ats infonya yang menarik. GBU

Terima kasih atas pencerahannya, mungkin itu kalimat yang paling tepat saya ucapkan untuk semua ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun