Mohon tunggu...
Wahyu Chandra
Wahyu Chandra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan blogger

Jurnalis dan blogger, tinggal di Makassar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Motif di Balik Tuduhan Plagiarisme Penyair Taufik Ismail

3 April 2011   22:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:09 2340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

***

Baik BP maupun sejumlah komentator-komentator lainnya, selama memperdebatkan TI ini tanpa bersumber dari informasi valid dan jelas sebenarnya hanya mengkonsumsi apa yang disebut sebagai rumor atau kabar burung. Rumor bercirikan pada keterbatasan informasi, sumber informasi yang tidak jelas dan sifatnya yang menyebar cepat dan sering mengalami penambahan dan pengurangan. Inilah sifat berusak dari rumor ini, meskipun dalam dunia bisnis strategi ini kerap dilakukan dan dampaknya sangat efektif dalam merubah preferensi atau pilihan konsumen.

Kabar buruk bagi BP bahwa status-status dan komentator-komentatornya itu bisa menjebloskannya ke penjara. Namun bisa juga karena sikap 'berbesar hati' mengakui adanya kekeliruan dalam kesimpulan sekilasnya atas diri TI dengan sumber informasinya yang terbatas. Mungkin alasan kesadaran dan adanya implikasi hukum inilah kemudian yang mendorong BP menulis di statusnya pada hari berikutnya, sekitar pukul 00 1 April 2011, dimana ia menulis:

Taufiq Ismal bilang kepada Fadli Zon bahwa puisi "Kerendahan Hati", terjemahan Karya Douglas Malloch, bukan kerjaan dia. Saya minta maaf telah menjerumuskan Soe Tjen Marching, Chandrasa Sedyaleksana, Antonius Made Tony Supriatma, Odji Lirungan, Kris Budiman dan kawan-kawan soal ini. TI, dalam hal ini, bukan plagiator.

Ini jelas sebuah pengakuan atas kesalahan atau kekeliruan yang dilakukannya, meskipun agak lucu juga dengan kata-kata awalnya, "Taufiq Ismail bilang kepada Fadli Zon bahwa puisi "Kerendahan Hati", terjemahan karya Douglas Malloch, bukan kerjaan dia..." yang berarti bahwa BP tidak mendapat klarifikasi langsung dari TI tapi hanya dari FZ. Padahal sebelumnya BP dan sejumlah komentator justru meminta klarifikasi langsung dari TI ke mereka.

Mungkin juga telah ada kesepakatan antara FZ dan BP terkait hal ini yang tak tersampaikan kepada publik, wallahua'lam. Yang jelas, berapa sering kita mengambil keputusan berdasarkan pada informasi yang sedikit, tidak lengkap dan--lebih parah lagi-masih bersifat rumor atau kabar burung. Masih ingat dengan kejadian guru cina tadi? Hanya karena adanya konteks yang sama, guru Cina tadi bermata sipit dan berkulit kuning, sebagaimana halnya orang Jepang, membawa catatan dan mencari lokasi yang sepertinya strategis, lalu kemudian diambillah kesimpulan bahwa dia adalah mata-mata Jepang.


Menurut Allport, sebagaimana ditulis ulang Gladwell, fakta-fakta sederhana dan gamblang yang dapat menjadi 'sumber kebenaran' dalam kabar burung ini sejak awal justru disimpangkan ke tiga arah. Pertama, keseluruahn cerita diratakan. Artinya semua detil yang diperlukan agar dapat memahami makna kejadian itu sengaja ditinggalkan. Kabar burung itu misalnya sama sekali tidak menyebutkan 'betapa ramah dan sopannya sang pelancong ketika menanyakan arah jalan kepada penduduk setempat; bahwa kebangsaan pelancong itu belum diketahui secara pasti,...juga bahwa pelancong itu tidak merahasiakan dirinya kepada siapapun.

Kemudian cerita itu dipertajam. Detil yang masih ada sengaja dibuat spesifik. Laki-laki itu dipastikan sebagai mata-mata. Karena ia bermata sipit, maka ia langsung dipastikan sebagai orang Jepang. Niatnya untuk menikmati pemandangan langsung diartikan sebagai aktivitas mata-mata. Buku panduan yang dipegangnya dipelintir menjadi kamera. Akhirnya proses selanjutnya adalah asimilasi: kisah tersebut dibuat sedemikian rupa agar lebih masuk akal bagi tukang-tukang gosip.

Bisa anda bandingka ketiga proses ini dengan apa yang terjadi dengan tuduhan terhadap TI?

Hal yang sama juga pernah terjadi di AS, ketika polisi setempat menembak seorang warga secara membabi buta, hanya karena ia berkulit gelap, keluyuran di malam hari di daerah yang dikenal rawan kejahatan dan terlihat panik ketika ditanyai oleh polisi. Terbukti kemudian bahwa korban hanyalah seorang warga baik-baik, yang memang memiliki sifat panikan. Polisi telah salah mengidentifikasi karena mereka telah memiliki prasangka ketika bertindak, mereka telah memiliki sikap apriori pada kelompok masyarakat tertentu. Berapa sering kita melakukan hal yang sama dalam kehidupan keseharian kita? Berapa sering kita mengambil kesimpulan dan keputusan hanya berlandaskan pada prasangka yang dilatari oleh adanya pengalaman negatif dengan orang yang kita sangka telah melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak dilakukannya?

Bagaimana jadinya jika tak ada seorang Fadli Zon, yang dengan riset kecilnya yang serba cepat mampu meyakinkan pada orang lain bahwa ada kesalahan kecil dalam tuduhan itu? Fadli Zon lah yang memberi kejelasan pada kita bahwa puisi itu memang puisi terjemahan, dan di banyak sumber di internet memang banyak yang mencantumkan TI sebagai penulisnya. Dan-ini yang terpenting-TI sendiri telah mengakui bahwa ia sendiri tidak pernah mengakui puisi 'Kerendahan Hati' itu sebagai ciptaannya, orang lainlah yang secara gegabah mencantumkan puisi itu sebagai salah satu karya TI. Tidak hanya dengan klarifikasi langsung dari TI, FZ juga menantang para 'penuduhnya' untuk membuktikan darimana sumber pustaka atau buku-buku yang bisa menunjukkan bahwa karya puisi itu diakui TI sebagai karyanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun