Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) orang pribadi memiliki kewajiban pajak subjektif dimulai saat orang pribadi:
- menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT, atau
- pada saat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Dan kewajiban subjektif tersebut berakhir pada saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap atau pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Ketentuan di atas berlaku juga untuk SPLN berbentuk badan.
Subjek Pajak Orang Pribadi dalam negeri yang merupakan Warga Negara Indonesia (WNI) berubah statusnya menjadi Subjek Pajak luar negeri jika:
- bekerja di luar negeri lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga hari) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan
- dapat menunjukkan salah satu dokumen tanda pengenal resmi yang masih berlaku sebagai penduduk luar negeri yang dapat berupa:
- green card;
- identitiy card;
- student card;
- pengesahan alamat di luar negeri pada paspor oleh Kantor Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri;
- surat keterangan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia atau Kantor Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri; atau
- tertulis resmi di paspor oleh Kantor Imigrasi negara setempat.
Dengan perubahan status tersebut, penghasilan yang diterima sehubungan pekerjaan yang dilakukan di luar Indonesia dan penghasilan lainnya yang bersumber dari luar Indonesia, tidak dikenakan pajak di Indonesia.
WPLN dikenakan pajak hanya sebatas penghasilan yang berasal dari Indonesia. Prinsip ini disebut asas sumber. Yaitu penghasilan yang bersumber dari Indonesia. Penghasilan tersebut bisa berasal dari usaha, kegiatan, atau berasal dari aset yang berada di Indonesia.
Tidak berlaku world wide income seperti WPDN yang mewajibkan melaporkan dan memperhitungkan penghasilan baik yang diterima di dalan negeri maupun luar negeri.
Objek Pajak BUT
Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang PPh, yang menjadi objek pajak dari suatu BUT, yaitu :
- penghasilan dari usaha atau kegiatan dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai BUT tersebut;
- penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh BUT di Indonesia (force of attraction);
- penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 Undang-Undang PPh yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud (effectively connected).
Nomor 1 diatas adalah murni kegiatan BUT yang memang seharusnya dicatat sebagai omset atau penghasilan BUT. Ini sama dengan perusahaan pada umumnya.
Sedangkan nomor 2 (force of attraction) dan nomor 3 (effectively connected) mungkin saja tidak dicatat sebagai omset atau penghasilan BUT. Biasanya dicatat di kantor pusat. Tetapi menurut perpajakan, wajib hukumnya dihitung sebagai penghasilan BUT.