Mohon tunggu...
Urip Widodo
Urip Widodo Mohon Tunggu... Write and read every day

Senang menulis, membaca, dan nonton film, juga ngopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kopi, Galau, dan Bahagia yang Sederhana

10 Juli 2025   13:29 Diperbarui: 10 Juli 2025   13:29 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kopi bahagia / sumber: kopikeliling

Matahari sore menyelinap pelan di sela-sela awan yang mulai menguning. Warna jingga memantul dari jendela kafe kecil di sudut kota. Tempat itu bukan kafe terkenal, tapi cukup nyaman buat orang-orang yang pengen ngobrol sambil ngopi tanpa musik keras atau Wi-Fi lelet.

Raka duduk menyender di kursi kayu panjang, matanya kosong menatap sisa cappuccino-nya yang mulai dingin. Kemejanya sedikit kusut, rambutnya nggak sempat disisir. Di hadapannya, Mita duduk dengan ekspresi setengah prihatin, setengah pengen ketawa. Dia udah tahu, temannya itu lagi masuk mode 'aku-lelah-dengan-hidup'.

"Lo ngelamunin biji kopi, Ka?" tanya Mita, nyengir sambil mengaduk teh hangatnya.

Raka ngelirik sebentar, lalu mendesah. "Gue ngerasa capek, Mit. Bukan capek fisik ya... tapi capek kayak... hidup tuh jalan, tapi gue ngerasa diem di tempat. Gak ada rasa bahagia."

Mita mengangguk pelan. Dia tahu Raka nggak nyari solusi instan. Dia cuma pengen didengar.

"Kayak... gue bangun tidur, kerja, pulang, makan, tidur lagi. Repeat banget. Semua terasa... gitu-gitu aja," lanjut Raka.

"Hmmm, selamat datang di kehidupan orang dewasa," sahut Mita dengan nada bercanda. "Tapi serius deh, lo pernah mikir nggak, kalau justru di rutinitas itu, ada pintu menuju kebahagiaan?"

Raka melirik. "Rutinitas bikin gue stres, bukan Bahagia, Mitaaaa...."

Mita menyender, menatap langit yang mulai kemerahan. "Tergantung gimana lo nyikapinnya. Coba deh... mulai hari lo dengan rasa syukur. Bahkan yang paling sederhana. Bangun tidur terus bilang, 'Alhamdulillah, masih bisa napas, dan sekarang .... masih bisa ngopi sore sama orang cantik kayak gue.'"

Raka nyengir setengah hati. "Ngopi sama lo kadang malah nambah stres."

"Eh!" Mita melempar gulungan tisu ke kepala Raka. "Gue serius nih. Banyak orang ngerasa kosong karena mereka lupa nikmatin yang kecil-kecil. Lo kebanyakan mikir bahagia itu harus besar, padahal... kadang cuma butuh duduk, tarik napas, dan bilang: hidup gue nggak seburuk itu."

Raka diam. Ia menggulirkan pandangannya ke arah jendela. Jalanan mulai ramai. Lalu Mita melanjutkan, nadanya mulai serius.

"Tubuh juga penting, Ka. Lo ngeluh capek tapi jam tidur lo kacau, makan sembarangan, olahraga enggak. Gimana mau bahagia kalau badan lo aja protes?"

"Gue udah niat jogging, tapi tiap alarm bunyi, gue malah ngejogging mimpi lagi," sahut Raka, ngakak kecil.

"Dasar lo," Mita ikut ketawa. "Tapi serius, kesehatan itu investasi perasaan juga. Orang yang badannya fit, pikirannya juga lebih jernih. Dan jangan lupa, kasih ruang buat diri lo sendiri. Zikir, meditasi, duduk tenang tanpa HP, itu penting. Biar lo kenal lagi sama diri sendiri."

Raka mengangguk pelan. Kata-kata Mita mulai masuk.

"Dan satu hal yang sering kita lupa," lanjut Mita, "bahagia itu gak selalu dari apa yang kita punya. Kadang justru datang dari hubungan kita sama orang lain. Ketika lo nyapa ibu lo duluan pagi-pagi, atau ngajak temen ngopi kayak gini, atau bantuin orang tanpa pamrih... itu semua kecil, tapi efeknya luar biasa."

"Jadi gue harus nyari bahagia dari ngopi sama lo tiap hari?"

"Kalau itu sih, bahagia gue yang nambah. Tapi serius, hidup gak butuh drama besar buat lo bilang 'gue bahagia'. Kadang cukup tau kapan kerja, kapan istirahat. Kapan ngobrol, kapan diem. Kapan lari, kapan duduk. Itu namanya seimbang."

Raka memutar cangkirnya pelan. "Jadi intinya, rutinitas gue bukan musuh?"

"Bukan. Justru bisa jadi sahabat. Asal lo hiasin dia dengan hal-hal yang bermakna. Sedikit aja. Tapi tiap hari. Bahagia itu bukan event gede, Ka. Bahagia itu kebiasaan."

Angin sore meniup lembut tirai tipis di jendela kafe. Raka menatap sahabatnya itu, lalu tersenyum untuk pertama kalinya hari itu, senyum yang jujur.

"Lo tau nggak, Mit?"

"Apa?"

"Gue lebih suka kata-kata lo... waktu lo lempar tisu ke kepala gue. Lebih masuk kayaknya."

Mita tertawa keras. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun