"Eh!" Mita melempar gulungan tisu ke kepala Raka. "Gue serius nih. Banyak orang ngerasa kosong karena mereka lupa nikmatin yang kecil-kecil. Lo kebanyakan mikir bahagia itu harus besar, padahal... kadang cuma butuh duduk, tarik napas, dan bilang: hidup gue nggak seburuk itu."
Raka diam. Ia menggulirkan pandangannya ke arah jendela. Jalanan mulai ramai. Lalu Mita melanjutkan, nadanya mulai serius.
"Tubuh juga penting, Ka. Lo ngeluh capek tapi jam tidur lo kacau, makan sembarangan, olahraga enggak. Gimana mau bahagia kalau badan lo aja protes?"
"Gue udah niat jogging, tapi tiap alarm bunyi, gue malah ngejogging mimpi lagi," sahut Raka, ngakak kecil.
"Dasar lo," Mita ikut ketawa. "Tapi serius, kesehatan itu investasi perasaan juga. Orang yang badannya fit, pikirannya juga lebih jernih. Dan jangan lupa, kasih ruang buat diri lo sendiri. Zikir, meditasi, duduk tenang tanpa HP, itu penting. Biar lo kenal lagi sama diri sendiri."
Raka mengangguk pelan. Kata-kata Mita mulai masuk.
"Dan satu hal yang sering kita lupa," lanjut Mita, "bahagia itu gak selalu dari apa yang kita punya. Kadang justru datang dari hubungan kita sama orang lain. Ketika lo nyapa ibu lo duluan pagi-pagi, atau ngajak temen ngopi kayak gini, atau bantuin orang tanpa pamrih... itu semua kecil, tapi efeknya luar biasa."
"Jadi gue harus nyari bahagia dari ngopi sama lo tiap hari?"
"Kalau itu sih, bahagia gue yang nambah. Tapi serius, hidup gak butuh drama besar buat lo bilang 'gue bahagia'. Kadang cukup tau kapan kerja, kapan istirahat. Kapan ngobrol, kapan diem. Kapan lari, kapan duduk. Itu namanya seimbang."
Raka memutar cangkirnya pelan. "Jadi intinya, rutinitas gue bukan musuh?"
"Bukan. Justru bisa jadi sahabat. Asal lo hiasin dia dengan hal-hal yang bermakna. Sedikit aja. Tapi tiap hari. Bahagia itu bukan event gede, Ka. Bahagia itu kebiasaan."