BAB 1 --- Sekolah Inspiratif di Ujung Gang
Sekolah Negeri 12 Cemerlang berdiri di ujung gang sempit yang setiap pagi dipenuhi motor orang tua murid, penjual nasi uduk, dan tukang parkir yang lebih galak dari satpamnya.
Namun, bagi dunia luar, sekolah ini adalah permata pendidikan abad 21.
Spanduk besar terpampang di gerbang:
"SELAMAT DATANG DI SEKOLAH INSPIRATIF BERKARAKTER NASIONAL"
(karena kalau tidak berkarakter, tidak bisa masuk akreditasi unggul).
Dari luar, sekolah tampak berwarna-warni: mural bertema "literasi", taman dengan papan bertuliskan "Belajar Itu Bahagia", dan poster wajah guru-guru berpose seperti finalis ajang pencarian bakat pendidikan.
Di tengahnya, tampak jelas satu sosok --- tersenyum dengan dagu sedikit terangkat --- Pak Bima Arta, S.Pd., M.Motiv. (Self-Proclaimed Motivator).
Ruang Guru, Jam 07.00
Ruang guru adalah tempat segala hal terjadi: diskusi, gosip, evaluasi, dan kadang juga terapi.
Pagi itu, suasana agak tegang karena Pak Kepala Sekolah, Pak Darmo, baru saja mengumumkan bahwa sekolah akan menjadi pilot project Sekolah Inspiratif Berkelanjutan.
Pak Bima berdiri sambil menggenggam spidol seperti mikrofon konferensi.
"Rekan-rekan, ini kesempatan emas! Kita harus menunjukkan bahwa Sekolah 12 bukan sekadar inspiratif, tapi ikon nasional!"
Bu Lestari, guru Matematika, hanya menghela napas sambil menyusun RPP.
"Ikon boleh, asal bukan ikon sinetron."
Pak Reno, guru Seni, langsung menimpali:
"Kalau ikon sinetron, yang penting lighting-nya bagus, Bu."
Tawa kecil terdengar, tapi Pak Bima tetap serius.
Ia menggambar diagram di papan tulis dengan tulisan besar:
VISI SEKOLAH INSPIRATIF: MENGAJAR DENGAN HATI, DIPIMPIN DENGAN VISI, DIPROMOSIKAN DENGAN STRATEGI.
Bu Kinan, guru muda yang baru setahun mengajar, menatapnya kagum.
"Wah, keren banget, Pak. Itu hasil rapat ya?"
"Bukan," jawab Pak Bima sambil tersenyum puas.
"Itu ilham subuh tadi. Aku memang sering dikunjungi inspirasi di waktu tahajud."
Pertemuan dengan Kepala Sekolah
Pak Darmo, kepala sekolah, masuk dengan senyum khasnya yang selalu terdengar seperti "ayo damai saja, ya."
"Baik, teman-teman. Kita akan kedatangan tamu dari Dinas Pendidikan minggu depan. Tolong semuanya menyiapkan kelas inspiratifnya masing-masing."
Pak Bima langsung mencatat sesuatu di buku agenda bertuliskan 'My Journey to Inspire'.
"Siap, Pak. Saya sudah punya konsep: Kelas Literasi Emosional Berbasis Empati dan Branding Positif Guru."
"Wah, luar biasa, Pak Bima," ujar Pak Darmo.
"Terima kasih, Pak. Saya memang percaya guru itu bukan hanya pendidik, tapi personal brand bangsa."
Bu Lestari menatap ke arah Bu Kinan dan berbisik pelan:
"Personal brand-nya sih kuat. Kinerjanya? Pending."
Panggung Kecil Bernama Media Sosial
Setelah jam pelajaran pertama, Pak Bima menuju ruang multimedia. Ia menyiapkan tripod dan ponselnya.
"Bu Kinan, bantu saya rekam video singkat ya," katanya.
"Video untuk apa, Pak?"
"Untuk konten sekolah. Tema hari ini: Guru Inspiratif di Era Disrupsi."
Bu Kinan menekan tombol rekam.
Pak Bima mulai berbicara penuh penghayatan:
"Mengajar bukan sekadar transfer ilmu, tapi transformasi jiwa..."
"Jiwa siapa, Pak?" tanya Bu Kinan spontan.
"Ya... siapa pun yang terinspirasi. Biasanya sih banyak."
Setelah video selesai, ia langsung mengunggah ke media sosial sekolah, lengkap dengan tagar:
#GuruVisioner #SekolahInspiratif #MengajarDenganCitra
Dalam satu jam, video itu mendapat 3 komentar:
- "Mantap, Pak!"
- "Inspiratif sekali, Pak!"
- "Pak, background-nya jemuran ya?"
Ketika Inspirasi Bertemu Ego
Sore harinya, di ruang guru, terjadi insiden kecil.
Pak Reno baru saja mendapat kabar bahwa videonya tentang mural siswa masuk feed akun Dinas Pendidikan.
Semua orang heboh memberi selamat.
Pak Bima menatap layar HP-nya dengan wajah menegang halus.
"Oh, video kamu yang diunggah ya? Bagus kok. Cuma... kalau soal konsep, mirip dengan yang saya sampaikan dulu di rapat."
Pak Reno tertawa santai.
"Iya, Pak, tapi bedanya video saya beneran dikerjakan anak-anak."
"Oh begitu... ya nggak apa-apa. Yang penting, semua demi sekolah inspiratif kita, kan?"
(Nada suaranya seolah berkata: 'Tapi jangan lupa siapa yang mulai inspirasi ini.')
Bu Kinan Mulai Menyadari
Malam itu, Bu Kinan menulis di jurnal pribadinya:
"Di sini semua guru bicara tentang inspirasi, tapi jarang yang benar-benar menginspirasi.
Yang mereka perjuangkan bukan perubahan, tapi perhatian."
Ia menatap foto kegiatan sekolah di Instagram: senyum para guru tampak bahagia, tapi ada sesuatu yang janggal --- semua berdiri agak miring, memberi ruang lebar di tengah untuk Pak Bima yang tampak paling bersinar di bawah lampu taman.
Keesokan paginya, Pak Bima kembali ke ruang guru dengan langkah penuh keyakinan.
Ia membawa mug bertuliskan "Visionary Teacher Since 2012" dan membuka laptop dengan musik instrumental motivasi.
"Hari ini, saya ingin semua guru menulis satu kutipan inspiratif dan menempelkannya di papan literasi," katanya.
"Untuk apa, Pak?" tanya Bu Lestari.
"Untuk konten, Bu. Biar anak-anak tahu kita bukan sekadar guru, tapi teladan."
Rini hanya mengangkat alis.
"Teladan? Ya semoga bukan teladan kesombongan."
Pak Bima pura-pura tidak dengar.
Ia sibuk menulis kalimat panjang di kertas warna emas:
"Guru bukan cermin murid. Guru adalah cermin kemuliaan dirinya sendiri."
Dan entah kenapa, seluruh ruangan tiba-tiba terasa panas --- mungkin bukan karena cuaca, tapi karena ego yang mendidih dalam senyuman.
Sekolah Inspiratif baru saja memulai harinya.
Dan seperti biasa, yang paling sibuk bukan muridnya --- tapi para gurunya yang berkompetisi menjadi paling "inspiratif".
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI