Tapi Debbi dan Anggi masih saja tertanam di rongga luka.Â
Ilo pulang ke sekretariat prodi di fakultasnya. Imo baru saja bersiap-siap tidur lantas tersentak melihat Ilo muncul di depan pintu. "Gila kamu!" Ilo cengengesan, mengambil rokok, dan duduk di teras depan.Â
Dari lantai tiga, Ilo menatap ruang sekretariat pers yang mulai sepi. Banyak sudah kisah yang tertinggal, kau buat jadi satu kenangan. Hanya ada musik Tipe-X dari sana.
***
"Di bagian mana kamu berjuang melawan nasi?"
Tanyaku. Kubaca lagi yang sudah tertulis. Tak ada cukup paragraf yang menjelaskan pengorbanan Ilo melawan butiran putih yang dibawa pemerintah dalam judul RASKIN ke dusun-dusun yang jauh hingga membuat masyarakatnya berhenti menanam umbi-umbian.Â
"Bacalah kisahku dari sudut pandang Debbi atau Anggi, Lio."
Oh iya, namaku Lio. Aku telah hidup selama dan semenderita Ilo. Aku cukup lelah dengan diriku yang lain tapi tidak pernah bisa berbicara jujur.Berdua saja, tanpa gadis kembar di kepala kita yang sering bolong.Â
Kita tidak menderita karena kehadiran yang tak menginginkan kita. Kita bahkan memilih hidup di dalam ilusinya hingga hari ini. Dan kita tak lagi bisa mundur. Tidak nanti, tidak selamanya.
Setidak-tidaknya pernah menghadapi penderitaan yang kita pilih, kata Ilo. Dan kita tidak memakan nasi!