Ilo berperawakan sangat kurus. Dengan tinggi sekitar 170 cm, tubuhnya hanya menanggung berat 40 kg. Wajahnya tirus, matanya cekung, sering kekurangan tidur. Tenggorokannya sehari-hari tidak lebih baik dari asbak: jenis rokok apa saja masuk.
Ilo sering ngeri menatap wajahnya sendiri. Tak ada bagus-bagusnya. Bahkan ketika ia memelihara bawuk, membiarkan rambut memanjang hingga sebahu, dan menggunakan jins yang sobekannya menganga di lutut.Â
Lalu pergi ke ruang kuliah dan mendapati dirinya dijadikan contoh yang buruk. Sudah berantakan tak ada isi kepalanya pula!
Dosennya bilang begini. "Kalo kwa ngana pande, bole jo!"
Celakanya, dalam keadaan yang mengenaskan, Ilo terpapar jatuh cinta. Seperti berjumpa virus, makin Ilo menahan diri, makin cepat menjadi korban di garis depan.Â
Cintanya tertuju pada gadis aktivis pers mahasiswa, tapi bukan Berta namanya. Mungkin Anggi atau Debbi, agak kurang jelas. Mereka kembar dan Ilo terpesona kepada keduanya. Sinting, memang.Â
Dan cinta Ilo hanya menjadi malam-malam yang panjang tak ber... Dengan rasa sepi di ceruk hatinya. Begitulah cinta, penderitaannya sungguh tiada akhir - Cu Pat Kay (Siluman Babi).
Sudah kurus jerangkong, berantakan, menjalani hidup tanpa cinta. "Patah hati kepada gadis kembar adalah pengalaman auto-etnografis yang jarang diteliti, Lo." Terang Imo, kawan sejurusan di program studi Antropologi. Â
Tapi Ilo tidak punya cukup nasi. Tidak cukup kenyang untuk berkontemplasi. Ilo tidak memiliki kemampuan berjarak dengan rasa sakit yang dicari-cari sendiri. Mengapa selalu tak cukup tersedia nasi di kos-kosan mahasiswa?Â
Ilo memilih menulis surat untuk ibunya yang sudah sakit-sakitan. Tak banyak yang ditulisnya. Sekadar kalimat pertanyaan tunggal: Mengapa nasi harus diciptakan dan menjadi dominan; menjadi selera yang mayor?
Sayang, ibunya sudah terlalu lama dimakan diabetes. Matanya mengabur dan sisa hidupnya hanya diniatkan menanti Ilo sarjana.