Pernyataan Mendikdasmen yang menyebut generasi muda Indonesia rentan menjadi fragile generation karena malas bergerak langsung menyita perhatian publik. Istilah ini seolah memberi cap baru bagi anak muda kita: rapuh, lemah, dan mudah goyah.Â
Tapi benarkah semua itu semata-mata salah anak muda yang lebih betah rebahan daripada berkeringat? Atau jangan-jangan ada persoalan yang lebih dalam: generasi ini sebenarnya kehilangan ruang untuk bergerak?
Apa Itu Fragile Generation?
Fragile generation merujuk pada kelompok generasi yang cenderung lemah secara fisik, mental, maupun emosional. Mereka mudah stres, tidak tahan tekanan, kurang bugar, dan minim daya juang. Istilah ini makin sering muncul di tengah kekhawatiran global terhadap gaya hidup modern: kurang gerak, kecanduan gawai, dan budaya serba instan.
Data WHO tahun 2022 menyebutkan, lebih dari 80% remaja di seluruh dunia tidak mencapai standar aktivitas fisik minimal yang disarankan, yakni 60 menit aktivitas sedang hingga berat per hari. Di Indonesia, survei Riskesdas (2018) mencatat angka kurang aktivitas fisik pada penduduk usia di atas 10 tahun mencapai 33,5%, dengan kecenderungan meningkat di kota-kota besar.Â
Angka ini menguatkan sinyal bahaya: gaya hidup pasif sedang mengintai generasi muda kita.
Benarkah Anak Muda Sekadar Malas?
Label "malas" sering kali menjadi kambing hitam yang mudah ditempelkan. Padahal, ada banyak faktor yang memengaruhi gaya hidup generasi muda.
1. Budaya Digital yang Dominan
Anak muda kita hidup di era serba daring. Tugas sekolah dikumpulkan lewat Google Classroom, interaksi sosial berpindah ke Instagram, TikTok, atau WhatsApp. Hiburan? Sudah pasti lewat layar. Aktivitas sehari-hari makin jarang melibatkan gerak tubuh secara nyata.